Sebagaimana diputuskan dalam pembahasan akhir Februari lalu, mereka hanya bersepakat mengatur syarat wajib bagi setiap kandidat mengikuti uji publik terkait dengan kompetensi dan integritasnya (Pasal 31 Ayat 1 RUU Pilkada).
Tampaknya, DPR meyakini proses uji publik tersebut bisa menjadi kesempatan tepat bagi publik menilai kepatutan pencalonan seseorang, termasuk jika dia berasal dari trah petahana setempat. Namun, tanpa lebih jauh mengatur bentuk dan mekanismenya—terutama soal daya pengaruh hasil uji publik terhadap otoritas partai yang memegang kata akhir—wajar jika kita menganggap klausul versi DPR tersebut sebagai normatif, basa-basi.
Bukankah kompetensi dan integritas selalu secara normatif diwajibkan bagi setiap kandidat, apa pun asal-usul keturunannya, di antara sederet daftar persyaratan yang selama ini dibuat?
Dengan rumusan tersebut, dinasti politik dipersilakan berlanjut. Seriusnya keprihatinan publik atas fakta keras dinasti yang amat problematik, bahkan destruktif, di aras lokal tersebut ternyata tak berpengaruh apa pun atas sikap politik DPR. Mereka bergeming, sambil menyitir argumentasi hak politik setiap warga negara untuk dicalonkan serta mewanti-wanti akan adanya gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi jika klausul dinasti diatur dalam undang-undang (UU).
Cara berpikirnya legalistik, tanpa menelaah lebih kritis konsep keadilan politik dan akses politik bagi warga yang justru tersumbat secara sistematis oleh kehadiran "hak politik" trah dinasti yang manipulatif itu. Selain itu, sindrom rabun jauh membatasi horizon politisi dalam melihat bahaya dinasti secara mendasar dalam jangka panjang. Titik masalahnya jelas tak berhenti pada soal pilkada, tetapi lebih jauh adalah tergerusnya keadilan dan akses kesejahteraan rakyat (alokasi sumber daya, APBD) lantaran gurita dinasti akan mengisap segala sendi sistem kehidupan publik kita. Favoritisme kepada kandidat dari trah dinasti, diskriminasi struktural terhadap demos, sirkulasi kekuasaan yang tak berbasis meritokrasi, rusaknya iklim demokrasi, dan lain-lain yang terjadi dalam pilkada jelas membuka jalan bagi hadirnya pasar gelap kekuasaan saat berlangsungnya pemerintahan.
Meretas jalan buntu
Tampaknya merawat struktur oligarkis dalam parpol dan menyuburkan ruang operasinya dalam arena politik lokal menjadi segala-galanya yang wajib diperjuangkan at all cost. Dengan itu, formasi lokal tetap bisa disusun dalam hubungan berlapis: di tengah adalah inti (kerabat penguasa), dilingkari jejaring bisnis dan politik yang menggumpal sebagai oligarki, lalu mengeliling di luarnya elemen publik kritis serta kaum profesional.
Sisanya—yang tak membuat genap atau ganjil formasi yang ada—massa rakyat yang mengambang bebas atau bahkan terlempar ke luar arena. Hanya dengan terus memastikan sirkulasi kekuasaan dalam lingkaran tertutup, elite dominan bisa terus melanggengkan (status quo) relasi- kuasa yang timpang antar-lapisan.
Selain itu, tak diaturnya jeda sementara dapat menjadi humus baru bagi suburnya dinasti di lain tempat. Wilayah edar dinasti yang hari ini terjadi di 57 daerah berpotensi bertambah. Model dominannya yang hari ini berpola "regenerasi" (menggilir jabatan yang sama seperti arisan keluarga) kelak kian variatif karena meluasnya model "beda kamar" (berbagi jabatan inti di eksekutif dan legislatif), model "silang daerah" (berkuasa di daerah berlainan dalam satu provinsi), serta model "antarlevel pemerintahan" (jabatan di kabupaten/kota dan provinsi). Pendalaman dan transformasi demikian diperkirakan masih terus menggelinding ke seantero Nusantara karena struktur sosial, karakter transisi politik, dan kerangka hukum kita memang mendukungnya.
Repotnya, ruang bagi kontra-aksi atas pilihan legal policy para pembentuk UU tadi terasa kian terbatas. Kita nyaris mentok dengan kemungkinan jalur legislasi yang justru memilih tidak mengaturnya lantaran para pembentuk UU lihai menutup pintu di UU Parpol dan kini RUU Pilkada; secara licik menyamarkan rumusannya dalam formula normatif. Opsi untuk mewajibkan parpol memberlakukan demokrasi internal dalam pencalonan (konvensi, primary-election, dan lain-lain) tampaknya juga sulit terwujud, sementara opsi pemilu serentak masih diragukan efektivitasnya sebagai instrumen pengendali dinasti dalam politik elektoral.
Uji materi di MK
Jalur yudisial lewat uji materi di MK tampaknya membersitkan sedikit peluang. MK diharapkan menjadi positive-legislature untuk membawa masuk klausul pembatasan dinasti ke dalam revisi UU Pilkada nantinya. Di sini, melampaui justifikasi legalistik ihwal hak politik seorang trah dinasti, alasan konstitusional terkait keadilan politik demos dan akses kesejahteraan (bonum commune) yang terbukti kuat banyak dibajak trah dinasti selama ini jelas sudah merupakan perkara yang jauh lebih fundamental. Tafsir hak dasar/konstitusional yang patut diusung tentu tidak boleh lepas dari segala prinsip keutamaan dalam kehidupan publik, bukan kacamata kuda (legalistik) yang memang dalam dirinya sudah mengandung niat tipu-tipu (manipulasi).
Tahapan advokasi berikutnya bisa dilakukan dalam kerangka pengadilan sengketa pilkada. Kasus-kasus konkret terkait kemenangan kandidat dari trah dinasti harus diperbesar tingkat posibilitasnya untuk diuji dalam sidang MK. Deliknya adalah perihal pelanggaran proses dan hasil uji publik yang diatur UU Pilkada tadi ataupun penyelewengan kekuasaan petahana (politisasi birokrasi dan jabatan, korupsi APBD, manipulasi program, dan lain-lain) sebagai rekayasa demi "memengaruhi hasil akhir" bagi kemenangan pewarisnya. Segala terobosan hukum progresif mesti terus didorong untuk mengimbangi superioritas para politisi yang memanipulasi peranti legislasi dan menafikan segala keutamaan publik demi kepentingan sempit mereka.
Akhirnya, dalam jangka menengah ke depan, berlapis ikhtiar lain wajib digarap. Pertama, gerakan sosial. Dalam konteks pilkada, orientasinya adalah penyadaran rakyat akan bahaya politik transaksional dan idola-isme yang sering menjadi aksi manipulatif kandidat dinasti. Dalam kebutuhan fundamental, gerakan ini menjadi jalan membangun democratic-citizenship, suatu kesadaran demos sebagai subyek kekuasaan politik dalam bernegara.
Kedua, memperkuat sistem integritas sektor publik agar desentralisasi uang/kuasa bisa terkelola secara akuntabel. Birokrasi, yang hari ini dijamin UU No 5/ 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, tak boleh terus merawat loyalitas buta terhadap kepala daerah yang seronok menyimpangkan kekuasaannya; mesti mulai berani menolak tunduk pada atasan lalim. Sejauh bersih dan profesional, di bawah UU baru, nasib aparatur sipil tak bergantung kepada kepala daerah, tetapi berdasarkan penilaian tersentralisasi dan relatif obyektif di manajemen kepegawaian pusat.
Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005250551
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar