Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 Maret 2014

Pidana Asal dalam TPPU (Yunus Husein)

oleh YUNUS HUSEIN Ketua Pusat Kanjian Anti Pencucian Uang, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan 2002-2011

Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) lahir 17 April 2002. Walaupun Undang- Undang tentang TPPU sudah berusia hampir 12 tahun, penerapannya masih menimbulkan permasalahan. 

Salah satu permasalahan yang sering dipertanyakan adalah: apakah untuk memeriksa perkara TPPU, tindak pidana asal (predicate crime) perlu dibuktikan terlebih dahulu? Ada yang berpendapat perlu dibuktikan terlebih dahulu. Di lain pihak ada yang berpendapat tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Tulisan ini menjelaskan masalah pembuktian dalam perkara TPPU khususnya yang berkaitan dengan ”mengapa untuk memeriksa perkara TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya”. *** 

Alasan pertama, menurut Pasal 69 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime). 

Ketentuan yang serupa dengan itu ada dalam penjelasan Pasal 3 Undang-Undang No 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003. Secara normatif sudah jelas, bahwa untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Sebaliknya tidak ada satu pun pasal UU PP TPPU yang mewajibkan untuk dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal sebelum memeriksa perkara TPPU.

Alasan kedua, Indonesia menganut sistem pembuktian yang disebut dengan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) seperti yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut pasal ini untuk dapat menghukum seseorang, hakim berdasarkan dua alat bukti yang sah menurut undang- undang, harus yakin, bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 

Kalau tindak pidana asal harus dibuktikan seperti itu maka dapat dipastikan tidak akan ada perkara TPPU yang akan diproses karena harus menunggu demikian lama. Yang jelas, tindak pidana asal yang melahirkan TPPU harus ada, tetapi tidak harus dibuktikan terlebih dahulu. 

Keberadaan tindak pidana asal dapat diketahui antara lain dari bukti permulaan yang cukup (dua alat bukti), hubungan kausalitas antara perkara TPPU dan tindak pidana asal, perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa, aliran dana hasil tindak pidana kepada terdakwa. 

Alasan ketiga, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sampai dengan Januari 2014, sudah ada 105 putusan pengadilan tentang TPPU yang berkekuatan hukum tetap yang menunjukkan, bahwa untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. 

Sudah ada tiga jilid buku Anotasi Perkara TPPU yang diterbitkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Misalnya dalam perkara atas nama terhukum Ie Mien Sumardi yang didakwa melakukan TPPU dengan melakukan penukaran hasil tindak pidana dengan valuta asing. 

Dalam kasus ini, Irawan Salim––presiden direktur Bank Global yang menggelapkan uang Bank Global Rp60 miliar, menyuruh Ie untuk menukarkan hasil kejahatan Rp20 miliar ke dalam valuta asing. Uang hasil penggelapan ditukarkan ke sebuah pedagang valuta asing PT YXL di Jalan Gunung Sahari. Ie tertangkap dan diadili dengan dakwaan melanggar Pasal 3 UU TPPU, yaitu perbuatan menukar hasil kejahatan dalam rupiah dengan valuta asing. 

Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ie Mien dihukum tujuh tahun penjara dan di Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi hukumannya menjadi lima tahun dengan alasan ia tidak menikmati hasil kejahatan tersebut. Putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam kasus ini, Ie Mien sudah dipidana, sementara pelaku tidak pidana asal (penggelapan) Irawan Salim sampai sekarang belum tertangkap. 

Inilah salah satu bukti bahwa untuk memeriksa TPPU tidak wajib atau tidak perlu terlebih dahulu membuktikan tidak pidana asal. Alasan keempat, Undang- Undang TPPU menganut pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan 78 UU TPPU. Pasal 77 mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. 

Menurut pasal 78, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan, bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana asal yang disebut di pasal 2 ayat (1). Dengan demikian, kewajiban terdakwalah untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara TPPU bukan berasal dari tindak pidana asal, misalnya korupsi. 

Alasan kelima, dengan beranalogi kepada Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penadahan. Untuk memeriksa perkara penadahan, tidak perlu pelaku tindak pidana asal (misalnya pencurian dan perampokan) ditangkap terlebih dahulu. Sudah banyak yurisprudensi mengenai masalah ini. Alasan keenam, di negara lain baik common law maupun civil law untuk memeriksa perkara TPPU tidak perlu membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu. 

Misalnya di Belanda, menurut Hakim Agung Belanda Mr Buruma dalam suatu diskusi di Bangkok dengan para hakim Indonesia pada 9 April 2013, bahwa untuk memeriksa perkara TPPU tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Begitu juga dengan pendapat hakim dari Amerika Serikat, Mrs Virginia pada forum yang sama bahwa di Amerika untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib membuktikan tindak pidana asalnya terlebih dahulu. 

Pada kesempatan lain pada 20 Mei 2013, Advokaat Generaal Belanda Mr Nico Kijzer (penasihat Mahkamah Agung) juga menyatakan pendapat demikian atas pertanyaan Prof Dr Muladi di Hotel Meridien, Jakarta. 

Di Australia menurut hakim Australia His Honor Judge Michael Mc Inerney dan Mrs Sylvia Grono Senior Lawyer, Australia dalam diskusi dengan hakim-hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 27 November 2013 menyatakan, bahwa untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. *** 

Setidak-tidaknya ada dua tindak pidana yang harus dibuktikan di pengadilan, yaitu tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang. Sesuai dengan Pasal 68 UU TPPU, hukum acara yang dipakai dalam pembuktian adalah hukum acara yang diatur dalam KUHAP dan undang-undang lain yang juga mengatur hukum acara seperti Undang-Undang TPPU, UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk tindak pidana asal pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut umum. 

Sementara itu, dalam perkara TPPU dikenal adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara itu bukan berasal dari tindak pidana. Hanya satu unsur itu yang harus dibuktikan oleh terdakwa, yaitu objek perkara itu yang berupa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal dari tindak pidana. Untuk unsur lainnya tetap harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum. 

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 189 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk dapat menghukum terdakwa, hakim harus yakin atas dua alat bukti yang disampaikan penuntut umum di sidang pengadilan. Dua alat bukti biasanya disampaikan untuk masing-masing unsur tindak pidana. 

_Adakalanya unsur niat jahat ”yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” dipakai juga pembuktian terbalik seperti dalam perkara atas nama terhukum Argandiono, seorang mantan pejabat Bea Cukai dengan register perkara No 95/PID.SUS/2011/PN.SBY. 

Sumber: Koran Sindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger