Survei terhadap 42.000 perempuan di 28 negara anggota UE itu menemukan, satu dari tiga perempuan atau sekitar 62 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual sejak usia 15 tahun. Sebanyak 22 persen mengalami kekerasan dari pasangan.
Selain itu, sebanyak 5 persen perempuan pernah diperkosa dan 12 persen perempuan mengalami kekerasan seksual sejak kanak-kanak oleh orang dewasa, separuhnya dilakukan laki-laki yang tidak mereka kenal.
Survei yang dipublikasikan 5 Maret 2014 itu juga menemukan, bentuk kekerasan yang dialami bertambah, termasuk penguntitan dan kekerasan menggunakan medium teknologi baru, seperti internet.
Laporan tersebut mengejutkan, mengingat Uni Eropa (UE) memiliki program penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang progresif. Luasnya kekerasan menunjukkan, petunjuk penanganan korban (victims directive) UE, termasuk korban kekerasan berbasis jender, dalam praktiknya tidak berjalan.
Banyak negara, termasuk Indonesia, ingin menghapus kekerasan berbasis jender. Bebas dari kekerasan diakui sebagai inti hak asasi dasar perempuan: martabat sebagai manusia, akses terhadap keadilan, dan kesetaraan jender.
Besarnya jumlah perempuan yang menjadi korban menunjukkan, kekerasan itu tak dapat dipandang sebagai isu marjinal hanya pada beberapa perempuan. Namun, kekerasan itu tak terekam dalam data resmi Pemerintah UE. Sebagian besar korban tidak melapor kepada penegak hukum, lembaga pendampingan, bahkan keluarga.
Korban di banyak tempat tidak melapor karena berbagai alasan, mulai dari malu, takut mengalami kekerasan lanjutan dan pembalasan dari pelaku, tidak memahami hak bebas dari kekerasan, hingga budaya.
Budaya sering kali berperan dominan. Sosialisasi oleh keluarga dan masyarakat bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki memunculkan anggapan kekerasan terhadap perempuan boleh dilakukan.
Laporan FRA akan menjadi dasar kebijakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hal itu dapat menjadi model bagi Indonesia, terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pemerintah harus membuat terobosan konkret untuk memenuhi hak dasar perempuan sebagai manusia dan warga negara untuk bebas dari kekerasan dan ketakutan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional tak otomatis menghapus kekerasan terhadap perempuan. Berbagai bentuk kekerasan, ironisnya juga dilakukan aparat, terus terjadi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005289361
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar