Namun, dalam UU ini terdapat pasal yang perlu diluruskan, yakni Pasal 61 (2). Bahwa kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai "agama sesuai ketentuan perundangan" atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Pasal 83 (1): database dimanfaatkan untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang pemerintahan dan pembangunan. Pasal 61 (2) terdapat redaksi dan substansi untuk dicek silang dengan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Frasa "agama sesuai ketentuan" merupakan teks redaksi yang kurang bijak karena negara
tak pernah memberi standar agama yang sesuai atau tak sesuai dengan ketentuan. Perbedaan atau pengakuan agama dan aliran kepercayaan ada pada wilayah akademik, bukan area birokrasi.
UU No 1/PNPS/65 di bagian penjelasan menyatakan, "Agama yang dipeluk penduduk Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Enam agama ini dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, tak berarti agama lain misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, dan Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh dan mereka dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah ketuhanan Yang Maha Esa".
Pesan yang dapat dinukil dari penjelasan Pasal 1 UU No 1/PNPS/65 adalah bahwa agama apa pun di Indonesia boleh hidup, bukan agama tertentu, asal tak melanggar perundangan. Dengan demikian, agama-agama lokal seperti agama Adam bagi orang Samin (Sedulur Sikep), Parmalim bagi komunitas di Batak, Sunda Wiwitan bagi warga Sunda, Aluk Todolo bagi penganutnya di Tana Toraja selazimnya ditulis dalam kolom agama di KTP warga. Tidak dikosongkan karena diakui pemeluknya sebagai agama meski pemerintah men-database-kan dalam data kependudukan.
Frasa "enam agama dipeluk hampir seluruh penduduk" jadi wilayah khilafiyah dalam konteks masa kini bila dibandingkan jumlah pemeluk aliran kepercayaan dengan sejumlah pemeluk agama Hindu, Buddha, atau Khonghucu. Adakah agama yang bertentangan dengan perundangan? Jika ada, itu bukan ajaran agama (apa pun), tapi tafsiran umat beragama. Bila ada kementerian agama, tugasnya melayani umat beragama dan negara tak menghakimi mana agama yang sah dan mana yang tak sah karena tak ada standar pengesahan sebuah agama secara birokratis.
Diskriminasi administrasi
Konteks UU Administrasi Kependudukan berimbas pada PP No 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No 23/2006 dan Surat Edaran Mendagri No 470/1989/MD pada 19/5/2008 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan bagi Penghayat Kepercayaan yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota. Pengosongan agama dalam kolom KTP warga—agama selain yang tereksplisit dalam UU No 1/PNPS/65 dan PP No 55/2005—merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan UU No 39/1999 tentang HAM,khususnya Pasal 4 yang berbunyi "Hak warga negara berupa hak hidup, hak untuk tak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, dan hak beragama."
Dalam forum dengar kesaksian para korban pelanggaran HAM yang digelar Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) di Jakarta (27/11/2013), diskriminasi itu diungkapkan oleh penghayat Sunda Wiwitan asal Cigugur, Kuningan, Jabar, akibat meyakini kepercayaan Sunda Wiwitan. Dia dihambat untuk mengisi kolom agama dengan keterangan Sunda Wiwitan karena dianggap tak termasuk enam agama yang resmi diakui pemerintah. Dampaknya, ia tak bisa memperoleh surat nikah resmi, saat pelajaran agama di sekolah dipaksa mengikuti salah satu agama resmi atau diberi nilai yang rendah.
Perlakuan negara tersebut menyalahi perundangan. Sudah saatnya wilayah agama dikaji
dalam ranah ilmuwan an sich, bukan ranah birokrasi, karena masalah ini sengaja atau
sering disalahtafsirkan oleh penyelenggara negara dalam pengakuan atau kebijakan. Hal ini menafikan keberadaan agama asli Nusantara yang eksis sejak era kerajaan hingga kini meski negara menyebut aliran kepercayaan.
Negeri ini bukan negeri agama (teokrasi), tetapi negara kesatuan yang mengayomi semua agama. Realitasnya, tak ada satu perundangan yang mendefinisikan agama. Agama idealnya
pada wilayah batin umat dan wilayah akademik, bukan wilayah publik, karena rentan tersulut konflik.
Akan tetapi, Rapat Paripurna DPR (26/11/2013) mengesahkan revisi UU Administrasi Kependudukan berupa (1) pemberlakuan e-KTP seumur hidup (semula 5 tahun) dengan dalih hemat anggaran, dan (2) terkait akta kelahiran, e-KTP, akta kematian digratiskan dan dibiayai pemerintah pusat. Revisi tersebut idealnya juga menyertakan penghapusan kolom agama dalam KTP agar pemicu konflik di wilayah konflik yang berbasis suku, agama, ras, antar-golongan (SARA) tidak terjadi.
Moh Rosyid, Dosen STAIN Kudus, Jawa Tengah
Sumber: Sumber: Kompas cetak edisi 1 Maret 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar