Kutipan di atas merupakan dasar kebebasan yang hakiki pada setiap warga negara atas keyakinan yang dipilih, berdasarkan pikiran dan perilaku yang dilakukan sesuai hati nuraninya. Hal itu menunjukkan tentang hak asasi manusia warga negara Indonesia, yang telah dinyatakan dalam perundang-undangan tertinggi di Indonesia.
Oleh karena itu, setiap orang sudah seharusnya membiarkan kepada warga negara yang memilih keyakinan keagamaan berdasarkan pilihan akal sehat dan nuraninya. Tidak dibenarkan baik tanpa sengaja apalagi disengaja untuk menundukkan warga negara yang berbeda keyakinan dalam beragama dan beribadah menurut keyakinannya. Melakukan penundukan dan pemaksaan agar meninggalkan keyakinan yang dianutnya sama artinya dengan melanggar UUD tertinggi yang sah di Indonesia.
Namun, yang terjadi di negeri kaum beragama ini malah sebaliknya. Banyak tindakan melanggar UUD yang resmi dan sah mendapatkan pembenar bahkan dianggap "menyelamatkan keyakinan" warga negara. Hal ini tentu paradoks atas UUD yang secara resmi telah disahkan MPR.
Pelanggaran kebebasan beragama
Laporan tahunan The Wahid Institute (2014) tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan menyatakan, selama Januari- Desember 2013, jumlah pelanggaran atau intoleransi keyakinan beragama tercatat 245 peristiwa. Terdiri atas 106 peristiwa (43 persen) yang melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa (57 persen) oleh aktor non-negara. Sementara total jumlah tindakan kekerasan dan intoleransi mencapai 280 kasus, di mana 121 tin-
dakan (43 persen) dilakukan aktor negara dan 159 tindakan (57 persen) oleh aktor non-negara.
Berdasarkan fakta lapangan yang disampaikan The Wahid Institute di atas, muncul pertanyaan fundamental yang harus dijawab oleh setiap warga negara yang mengaku memiliki keyakinan keagamaan. Hal apakah yang menyebabkan perilaku kekerasan dan tindakan melanggar UUD terkait kebebasan beragama terus berlangsung? Bukankah kebebasan menganut keyakinan keagamaan merupakan hak asasi yang tidak dapat tergantikan di Indonesia?
Hal paling krusial jika kita mendasarkan pada fakta lapangan yang ditemukan The Wahid Institute, perilaku pelarangan dan tindakan kekerasan atas mereka yang beragama dilakukan oleh aktor yang bernama negara, bukan sekadar warga negara. Padahal, kita tahu, negara seharusnya berperan menjadi penjamin dan pengayom kebebasan berkeyakinan di dalam menganut suatu keyakinan keagamaan dan mengerjakan ibadah penganut agama sesuai keyakinannya.
Di sinilah kita patut mempertanyakan secara tegas, di manakah peran negara selama ini terhadap pemeluk keyakinan keagamaan dan kebebasan mempraktikkan ibadah kaum non- mainstream dan minoritas atas keyakinan yang dianutnya? Bukankah jika kekerasan terus dilakukan oleh aktor bernama negara, hal itu sama artinya bahwa negara selama ini memang absen (tidak hadir) dalam memberikan ruang kepada kaum non-mainstream dan minoritas atas kebebasan meyakini suatu kepercayaan dan melindungi warga negara yang melaksanakan ibadah atas keyakinannya itu?
Bukankah negara sebenarnya telah mengarah pada apa yang dinamakan failed state dalam melindungi warganya untuk berkeyakinan dan beribadah? Oleh karena itu, jika suatu ketika negara ini dinyatakan sebagai negara gagal, terutama dalam hal melindungi kebebasan berkeyakinan dan melaksanakan ibadah atas keyakinannya tersebut, hal itu merupakan fakta yang nyaris tidak terbantahkan, terutama atas mereka yang minoritas dan dianggap melanggar.
Istilah melanggar, yang kemudian mengarah pada istilah "sesat", dalam lima tahun terakhir, nyaris tidak pernah absen di negeri ini. Inilah problem besar yang perlu diperhatikan sebab akan sangat berbahaya jika warga negara yang beragama sesuai keyakinannya dengan mudah disebut "sesat dan kafir". Hal itu karena istilah sesat dan kafir sama artinya dengan keharusan membubarkan diri secara paksa. Jika tidak berkenan harus dibubarkan paksa oleh negara dan oleh sebagian warga negara yang beragama.
Etika beragama
Oleh karena itu, hemat saya di negeri multi-agama (baik internal maupun eksternal) perlu dikembangkan etika kaum beragama. Setiap warga negara yang beragama harus berani merumuskan keyakinan dan peribadatan atas keyakinannya secara publik. Etika agama secara publik merupakan cara beragama yang berani menghadirkan paham keyakinannya di tengah masyarakat yang pluralis untuk tidak menghakimi keyakinan dan peribadatan orang yang berbeda agama, sebagaimana keyakinan dan peribadatan yang kita miliki.
Jika warga negara berani melakukan kritik atas keyakinan dan peribadatan keagamaan yang selama ini telah dianut secara kritis, persoalan kebebasan beragama yang merupakan hak asasi paling fundamental di Indonesia akan perlahan-lahan dapat kita nikmati secara bersama. Selama ini kebebasan keyakinan beragama dan beribadah sesuai keyakinan lebih tepat jika dialamatkan ke kaum mayoritas alias kaum mainstream bukan non-mainstream.
Akankah pada 2014 ini kebebasan memilih keyakinan beragama dan beribadah menurut pilihan hati nurani tetap akan dilanggar, terutama oleh aktor negara dan sebagian warga sipil yang merasa bertanggung jawab atas keyakinan dan peribadatan warganya? Seharusnya tidak lagi terjadi kekerasan atas nama "pelurusan iman agama" sebab konstitusi tertinggi kita telah jelas memberikan pedoman kepada warga negara untuk menganut keyakinan dan beribadah sesuai dengan keyakinannya itu.
Zuly Qodir, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Peneliti Senior Maarif Institute
Sumber: Kompas cetak edisi 3 Maret 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar