Menurut berita yang beredar, akibat penyerangan itu, sebanyak 29 orang tewas dan 143 orang lainnya terluka. Media pemerintah Beijing secara cepat menyebut penyerangan itu dilakukan oleh kaum separatis Xinjiang, sebuah provinsi di China barat laut. Provinsi ini berbatasan dengan delapan negara, antara lain Pakistan, Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, dan Afganistan.
Bukan kali ini saja, menurut Beijing, kaum separatis Xinjiang menyerang. Oktober lalu, mereka melakukan penyerangan bunuh diri dengan meledakkan mobil di pintu masuk Kota Terlarang, Beijing.
Mengapa mereka beraksi di luar Xinjiang dan terakhir di Kunming, wilayah China barat daya? Alasan politisnya jelas, yakni untuk meraih dampak yang lebih kuat dan luas dibandingkan dengan yang dilakukan di Xinjiang. Hal lain, penjagaan keamanan daerah di luar Xinjiang lebih lemah.
Xinjiang adalah kasus lama bagi Beijing. Di wilayah yang memiliki kandungan minyak terbesar di China, juga sejumlah mineral, dan menjadi produsen gas terbesar di China ini terkandung perseteruan etnis yang sudah lama, yakni antara etnis pribumi, Uighur (keturunan Turki), dan pendatang, Han. Selain etnis Uighur dan Han, masih ada etnis lain, di antaranya Kazakh, Hui, Tadjik, dan Kyrgyz.
Meski jumlah etnis Uighur di Xinjiang paling banyak— menurut sensus 2011, sebanyak 47 persen dari 22,09 juta jiwa, sedangkan Han sebanyak 40,6 persen—mereka merasa terpinggirkan dalam banyak hal: politik, ekonomi, dan dalam menjalankan ibadah. Pembangunan Xinjiang, yang begitu cepat di bidang ekonomi—apalagi menjadi pintu gerbang ke Barat—dan fisik, menurut etnis Uighur, tidak mereka rasakan manfaatnya. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka merasa diabaikan. Secara etnis dan agama, mereka merasa direndahkan.
Namun, dalam perspektif Beijing, pembangunan itu telah mengubah provinsi tersebut menjadi maju, baik secara ekonomi maupun budaya, karena banyak sekolah. Ibu kota Xinjiang, Urumchi, menjadi boom towns dan land of opportunity yang menarik para pendatang, termasuk etnis Han yang terus bertambah.
Persaingan antara Uighur dan Han yang berebut dominasi inilah yang, antara lain, memicu gerakan-gerakan menuntut otonomi lebih besar dari Uighur. Bahkan, ada tuntutan untuk memisahkan diri dari Beijing. Secara etnik, ada perbedaan kultural di antara keduanya.
Peristiwa di Kunming semestinya menjadi peringatan bagi Beijing bahwa mereka harus mengubah pendekatan terhadap Xinjiang, terhadap Uighur. Tidak cukup bagi Beijing hanya menggelontorkan uang ke Xinjiang, tetapi melupakan aspek-aspek kultural, kemanusiaan.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005248422
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar