Jika laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan dari 2,31 persen pada periode 1971-1980 menjadi 1,49 persen pada periode 1990-2000, pada tahun 2000-2010 laju pertumbuhan tidak berubah.
Untuk segera menurunkan laju pertumbuhan penduduk ditetapkan strategi pembangunan berwawasan kependudukan. Diproyeksikan laju pertumbuhan menjadi 0,62 persen pada periode 2020-2025.
Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia 238,5 juta jiwa. Pada satu sisi pertumbuhan penduduk yang tinggi memberi keuntungan berupa bonus demografi yang dinikmati sejak 2012.
Bonus demografi, di mana penduduk usia produktif (15-65 tahun) jumlahnya lebih besar daripada yang tidak produktif, memungkinkan penduduk usia produktif memiliki pendapatan yang dapat dibelanjakan dan menghidupkan perekonomian, serta tabungan yang dapat dimanfaatkan membiayai pembangunan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, antara lain, ditopang bonus demografi melalui belanja masyarakat.
Pada sisi lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi membutuhkan tambahan pangan, energi, pendidikan, layanan kesehatan, dan lapangan kerja. Perebutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan meningkat, terutama di Jawa yang ditinggali lebih dari separuh penduduk. Untuk mengurangi tekanan di Jawa, pembangunan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, hingga energi listrik, di luar Jawa menjadi keharusan.
Bukan tanpa alasan apabila pemerintah kembali menggiatkan Keluarga Berencana. Tingkat kesuburan total (total fertility rate/TFR, jumlah anak yang dilahirkan perempuan sepanjang hidup) stagnan pada 2,6. Pemerintah menargetkan turun menjadi 2,1 pada tahun 2025.
Mengendalikan laju pertumbuhan penduduk memerlukan strategi pembangunan yang berorientasi manusia. Meskipun pemerintah memiliki Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), banyak hal terkait laju pertumbuhan penduduk berada di luar lingkup kerja BKKBN.
Contohnya pendidikan yang berkorelasi positif dengan keinginan memiliki keluarga kecil tetapi berkualitas serta usia pertama kali menikah. Jumlah perempuan yang menikah pada usia 15-19 tahun masih 12 persen. Pernikahan usia muda merugikan kesehatan ibu dan bayinya, membuat TFR sulit turun, dan mengurangi kesempatan perempuan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.
Penanganan kependudukan haruslah tetap menjadi agenda utama pemerintahan baru yang akan segera datang. Tanpa kesadaran pembangunan berwawasan kependudukan, bonus demografi akan berlalu tanpa manfaat berarti bagi kemakmuran merata rakyat Indonesia.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005246316
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar