Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 07 Juni 2014

Mewaspadai Simbolisme Agama (Paulinus Yan Olla MSF)

PERTARUNGAN memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden kian lama kian memuncak. Simbol-simbol sengaja diusung untuk menarik simpati yang berujung pada perebutan kekuasaan.

Simbol primordial yang paling mudah merajut rasa dan menggiring simpati adalah agama. Kecemasan akan penggunaan simbol-simbol agama sebagai kuda tunggangan menuju kekuasaan sangat beralasan.

Negara-negara maju yang telah mapan dalam demokrasi pun tak luput dari jebakan penyalahgunaan simbol-simbol agama bagi kepentingan politis. Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang sangat membela kebebasan beragama masuk dalam jebakan berbau sektarian ketika beberapa pemilu presiden terseret dalam perdebatan berkepanjangan tentang ide keagamaan tertentu.

Pemilihan Presiden AS tahun 2004, misalnya, memaksa partai-partai memperebutkan kursi kekuasaan dengan menjual isu- isu moral keagamaan. Kampanye hitam untuk menyudutkan lawan politik dengan isu keagamaan pun masuk dalam strategi perebutan kekuasaan. Platform partai tampak tersingkir oleh argumen yang laku daya jualnya, yakni moral values(nilai-nilai etis) yang berdasar pada inspirasi agama Kristiani sebagai agama mayoritas (Kristin E Heyer, Cs, Catholics and Politics, 2008).

Profesor Azyumardi Azra yakin Indonesia tidak akan terjebak dalam simbolisme agama. Sejak masa reformasi, simbolisme agama Islam ataupun agama lain tidak efektif memengaruhi tingkah laku politik pemilih. Ia meyakini pula Indonesia tidak akan terperangkap dalam jebakan demokrasi, yakni keyakinan bahwa terbukanya demokrasi di negara mayoritas Muslim hanya akan menghasilkan parpol Islam yang pada akhirnya akan menjalankan agenda-agendanya sendiri. Tidak efektifnya simbolisme agama terjadi karena budaya Muslim Indonesia, menurut Azyumardi, lebih adoptif dan adaptif, fleksibel, akomodatif, dan jauh berbeda dari praktik Islam di negara-negara Arab (Kompas, 21/5/2014).

Jika analisis di atas benar, simbolisme agama tetap perlu diwaspadai. Simbolisme agama melalui manipulasi agama dalam bungkus nilai-nilai etis bisa diusung hanya sebagai "baju" untuk merebut kekuasaan, tanpa harus ditindaklanjuti dengan penerapan hukum keagamaan tertentu seperti diyakini teori "jebakan demokrasi".

Belajar dari jebakan yang menjerat AS, nilai-nilai moral janganlah diusung sebagai barang dagangan. Jika hal itu terjadi, seluruh masalah bangsa hanya akan disempitkan dalam isu-isu keagamaan yang amat sektarian. Masalah mendasar bangsa seperti kesenjangan sosial atau kemiskinan sebagai anak kandung liberalisme dan individualisme ekstrem disingkirkan dan diabaikan dalam perdebatan politik.

Hindari politisasi agama
Indonesia akan terhindar dari isu-isu semu berbungkus moralitas agama jika para capres-cawapres ditolong untuk mengusung program yang melampaui bungkus simbolis agama. Diperlukan bantuan agama-agama untuk pembangunan sebuah spiritualitas politik, yakni diusungnya program-program pembangunan bangsa yang berdimensi rohani (spiritualitas), tetapi yang menyangkut pembangunan manusia secara utuh atau integral.

Artinya, pembangunan manusia tidak disempitkan pada pilihan beberapa isu keagamaan yang nilai jualnya tinggi dalam bursa perebutan kekuasaan. Spiritualitas politik pada hakikatnya mengusung nilai-nilai etis-religius untuk membangun manusia dalam segala dimensinya dan menjangkau setiap orang, termasuk mereka yang umumnya tersingkirkan.

Pembangunan spiritualitas politik yang mempertimbangkan manusia dalam segala dimensinya akan menghindarkan bangsa ini dari politisasi agama. Negeri ini akan terhindar dari calon-calon penguasa yang memboncengi nilai-nilai keagamaan dan bersandiwara seakan dapat memajukan moralitas bangsa dengan menutup mata terhadap masalah-masalah besar bangsa, seperti korupsi, pelanggaran HAM, dan ketimpangan sosial yang semakin tak terjembatani.

Dalam pembangunan spiritualitas politik, nilai-nilai etis religius diusung dalam program pembangunan bangsa, tetapi tak lagi bersifat sektarian karena ia menyangkut semua manusia apa pun agama, suku, dan bahasanya. Spiritualitas politik memandatkan pembangunan manusia secara utuh-integral, bukan semata pembangunan kerohanian secara sempit, sektarian, dan radikal, tanpa keterkaitannya dengan dimensi lain kehidupan manusia.

Keinginan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa saleh, suci, ataupun beriman jangan sampai menjadi sekadar mainan segelintir orang yang dengan kelihaian mengusung simbolisme agama hanya berjuang meraup kekuasaan bagi diri sendiri. Dengan demikian, isu-isu keagamaan hanya diboncengi menuju perebutan kekuasaan dengan taruhan terabaikannya masalah-masalah besar bangsa dan dilupakannya kepentingan bersama bangsa ini.

Paulinus Yan Olla MSF
Dosen STFT Widya Sasana Malang

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006980033
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger