Kemelut kian rumit dengan adanya ancaman Inggris keluar dari Uni Eropa (UE) jika calon yang didukung Kanselir Jerman Angela Merker—mantan PM Luksemburg Jean-Claude Juncker—terpilih. UE pun terpecah.
PM Inggris David Cameron—didukung Belanda, Swedia, dan Hongaria (kemungkinan juga Italia dan Finlandia)— menolak keras Juncker karena menganggap ia bukan orang yang tepat untuk memimpin UE lima tahun ke depan.
Sosok Juncker yang federalis dan pro penyatuan politik di UE dinilai tidak kapabel membawa perubahan fundamental di UE. Dalam pandangan Cameron, hasil pemilu di sejumlah negara UE menegaskan yang dibutuhkan Eropa saat ini adalah reformasi sebagai prasyarat terciptanya lapangan kerja dan pertumbuhan. Komisi Eropa selama ini dinilai terlalu kuat dan mendikte. Menurut Cameron, Komisi Eropa seharusnya tak bertindak seperti pemerintah dan fokus pada pengembangan pasar bersama.
Juncker salah satu arsitek euro dan sekutu Merkel dalam mendorong disiplin anggaran dalam kebijakan dana talangan untuk sejumlah negara anggota yang dilanda krisis di zona euro. Posisi Presiden Komisi Eropa diperdebatkan karena sangat berkuasa dalam menentukan arah kebijakan UE di berbagai bidang.
Hubungan bilateral Jerman-Inggris beberapa tahun ini sebenarnya sangat baik. Merkel sekutu dekat Cameron di UE. Kedua negara juga dua kekuatan penting di balik terbentuknya pasar tunggal Eropa 1980-an. Namun, dalam kerja sama politik, keduanya sering berseberangan, termasuk soal penggunaan mata uang tunggal euro.
Kemelut terakhir digambarkan sebagai wujud rasa saling frustrasi kedua pihak terhadap pihak lain. Inggris melihat Jerman terlalu ortodoks. Sebaliknya berbagai pihak di Jerman mengungkapkan kejengkelan pada Inggris yang dianggap melakukan blackmail lewat ancaman keluar dari UE. Wakil Kanselir Jerman Sigmar Gabriel, misalnya, menyindir tak seharusnya orang yang selama ini ingin melemahkan UE mendikte siapa yang memimpin UE.
Juncker merupakan kandidat kuat karena ia calon pilihan Partai Rakyat Eropa (EPP), partai terbesar di Parlemen Eropa (PE). Meski tak harus tunduk pada keinginan PE, masukan PE harus jadi pertimbangan. PE sendiri kecil kemungkinan menerima calon yang bukan pilihan mereka.
Cameron merencanakan referendum untuk memutuskan nasib keanggotaan Inggris di UE jika partainya kembali terpilih pada 2015. Keanggotaan di UE sejak lama jadi isu kontroversial di Inggris dengan suara mereka yang ingin Inggris keluar kian menguat. Keluarnya Inggris dari UE tak akan dikehendaki Jerman karena akan kian merongrong kewibawaan UE, terutama setelah keluarnya Yunani yang menganggap kekakuan aturan di UE salah satu penyebab rontoknya perekonomiannya. Perkembangan ke depan bergantung pada kompromi masing-masing pihak.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007160943
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar