Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Juni 2014

Tegas (Nathanael Gratias Sumaktoyo)

MENJELANG Pemilu Presiden 9 Juli 2014, perdebatan tentang sosok presiden ideal makin mengemuka.

Selain kualitas umum seperti anti korupsi dan jujur, beberapa pendapat menekankan pentingnya ketegasan dalam diri presiden mendatang. Pertanyaannya kemudian, apakah tegas itu?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya memberikan pengertian: 1) jelas dan terang benar; nyata, 2) tentu dan pasti, 3) tandas. Definisi-definisi tersebut tidak terang, tidak menempatkan ketegasan itu dalam konteks. Definisi itu juga membuka peluang bagi dua wajah ketegasan: ketegasan yang mengayomi dan ketegasan yang mendominasi.

Tahun 1962, George Wallace mencalonkan diri sebagai gubernur Alabama. Ia berjanji mempertahankan segregasi ras dan tak membiarkan murid kulit hitam belajar di sekolah kulit putih. Setelah terpilih, ia menepati janji. Bersama Garda Nasional yang ada di bawah komandonya, Wallace menghalang dua murid kulit hitam yang hendak mendaftar di Universitas Alabama.

Di Washington, John F Kennedy melihat semua itu dengan marah. Sebagai presiden, ia menjamin kesetaraan hak warga kulit hitam. Bertekad menepati janjinya, Kennedy mengambil alih komando Garda Nasional dari Wallace. Ia pun memerintahkan Garda Nasional membuka jalan dan melindungi kedua calon mahasiswa kulit hitam yang haknya terampas oleh rasisme.

Hampir tiga dekade kemudian, di belahan dunia lain, seorang kulit hitam menghirup udara bebas setelah 30 tahun dipenjara. Orang itu, Nelson Mandela, tidak lama kemudian terpilih sebagai presiden Afrika Selatan dan harus mempersatukan negara yang dikoyak oleh rasisme.

Ia dapat saja mengikuti jejak para revolusioner seperti Stalin atau Lenin dengan bertindak tegas menghukum kulit putih yang telah menindas kulit hitam. Ketegasan demikian barangkali malah akan membuatnya makin populer di mata kulit hitam yang telah lama jadi warga kelas dua.

Namun, alih-alih melakukan pembalasan, Mandela malah membawa pengampunan. Ia mengangkat menteri-menteri kulit putih dan memberikan grasi para pelaku kekerasan di masa lalu jika bersedia mengakui kesalahannya. Kebijakannya membawa kontroversi. Bahkan, istrinya, Winnie Mandela, mengkritik Mandela sebagai sosok yang tidak tegas dan hanya ingin menyenangkan kelompok kulit putih.

Pilihan kita
Kembali pada pemilu presiden yang akan kita hadapi, ketegasan seperti apakah yang kita harapkan? Apakah kita ingin presiden yang tegas seperti George Wallace atau Kennedy? Apakah kita tertarik untuk memiliki seorang Nelson Mandela atau seperti Stalin yang kuat dan ditakuti meski sebatas mulut senapan?

Melihat kondisi bangsa sekarang, wajar jika banyak yang merasa pemimpin yang tegas adalah solusi bagi semua itu. Korupsi, ormas anarkis, intervensi asing—seandainya pemimpin kita tegas—semua pasti tidak akan terjadi bukan? Mungkin iya, mungkin tidak. Pemimpin tegas tak menjamin bebas korupsi. Orde Baru seharusnya jadi pelajaran penting. Pemimpin tegas juga tidak menjamin bubarnya ormas anarkis. Kepala daerah yang setuju dengan ormas-ormas dalam menolak rumah ibadah kelompok minoritas, misalnya, sejatinya adalah kepala daerah yang tegas—menurut KBBI—karena mereka tidak ragu dalam mengambil keputusan.

Persoalannya kini bukanlah apakah kita memilih pemimpin yang tegas, melainkan pemimpin kita yang harus bersikap tegas. Apakah kita ingin yang tegas dalam menghukum dan lihai menggunakan kekuatan represif negara ataukah pemimpin yang tegas dalam prinsip tetapi mengutamakan dialog dan mengesampingkan kekuatan koersif?

Sejauh ini konsepsi kita tentang ketegasan cenderung pada tipe pertama. Tegas kita samakan dengan kuat, ditakuti, dan berapi-api. Kita perlu mengubah persepsi itu. Perubahan tidak melulu harus dengan kekuatan. Perubahan bisa dicapai dengan cara-cara yang elegan dan konstruktif, cara-cara yang sayangnya sering kita asosiasikan dengan lemah atau penakut. Kita perlu belajar pada Gandhi yang pernah menulis, "Dengan cara yang lembut, Anda (sejatinya) bisa mengguncang dunia."

Nathanael Gratias Sumaktoyo
Mahasiswa Doktoral Program Politik Amerika di Universitas Notre Dame, AS

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007045106
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger