Fitrah teologi bersumbu pada kasih sayang. Bahkan, modus kelahiran setiap nabi senantiasa bermula pada hasrat mengembalikan semesta pada daulat cinta kasih. "Aku tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi semesta," demikian firman-Nya.
Kebencian dengan segala derivasinya justru menjadi target utama yang hendak dicongkel setiap risalah. Kebencian yang menjadi muasal tergelarnya hidup jahiliah, baik dalam medan sosial, politik, maupun kebudayaan. Kebencian selalu beranak pinak menjadi kesumat, kekerasan, dan tindakan banal lainnya.
Maka, menjadi sangat mafhum apabila tindakan politik profetik selalu dijangkarkan pada semangat "kebersamaan", persekutuan inklusif, haluan toleransi dan sikap lapang, tanpa melihat latar belakang agama ataupun asal-usul etnik. "Sebarkan damai di antara kalian". Dalam lain kesempatan, "Cintai mereka yang ada di bumi, engkau akan meraih cinta dari langit".
Negara Madinah menjadi sebuah gambaran ihwal "ruang publik" yang dikelola lewat sentuhan kedamaian, lebih mendahulukan kekuatan logika daripada logika kekuatan; mengandalkan argumentasi ketimbang provokasi. Segala hal yang menyangkut urusan masyarakat dipecahkan dengan cara dialog dalam kesetaraan (demokrasi deliberatif), hujjah diskursif, dan cara-cara beradab lainnya. Mengingatkan kita pada "negara kota"-nya Athena zaman keemasan Plato dan Aristoteles. Bahkan, kata Robert N Bellah, "negara kota" sang nabi jauh lebih matang sebelum pada akhirnya dibajak para raja dan beralih rupa menjadi sistem daulah.
Nabi menjadikan laku harian sebagai siasat untuk mentransformasikan politik kepentingan yang berpihak pada khalayak dan keadilan. Nabi, meminjam bahasa Hannah Arendt, bukan hanya bekerja dan berkarya, melainkan juga bertindak yang diacukan pada spirit berpikir, kehendak, dan menilai di atas haluan kebenaran etik-profetik.
Ironi
Justru contradictio in termenis inilah yang hari ini mencuat ke permukaan. Bagaimana elite kaum beragama menebarkan kebencian justru dengan berjubahkan teologi. Teologi menjadi berkelindan dengan hibrida kebencian. Dicarikan alasan-alasan penuh dendam sekadar untuk meneguhkan bahwa liyan itu keliru, sesat, patut dicurigai, dan sangat tidak layak hidup berdampingan dengan komunitas mayoritas.
Disampaikanlah alasan-alasan yang seolah diturunkan dari "sabda sakral silam" untuk memonopoli kebenaran dan memandang liyan, meminjam ulasan eksistensialis Jean-Paul Sartre, sebagai "neraka". Memperjuangkan kebenaran monolitik itu dipandangnya suatu keharusan dan jihad fi sabilillah. Kematiannya diimani sebagai martir, diserupakan dengan pahlawan yang mati hanya satu kali dan akan dikenang sebagai sang pemberani.
Digalilah "sejarah" dan sekian sengketa dari riwayat masa silam yang sudah berlumut karena berumur ribuan tahun dari negeri entah yang sangat jauh jarak tempuhnya dari jazirah Nusantara untuk semakin meyakinkan bahwa menebar kebencian itu sahih. Jauh dari negeri kepulauan bukan hanya tradisi, cara berpikir, dan kebudayaan, melainkan juga hikayat masa lalunya.
Peristiwa-peristiwa gelap masa lalu tak henti diceritakan ulang sebagai siasat agar kebencian itu terus terwariskan walaupun kita dan kaum leluhur bukan bagian dari pengalaman peristiwa itu. Sejarah menjadi sebuah tafsir repetitif seolah peristiwa itu jangan sampai hanya berhenti sebatas Paus Gregory VII, Saladin al-Ayyubi, Abu Bakar Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomaeni, dan seterusnya. Jangan sampai berhenti hanya pada peristiwa Karbala, Perang Badar, Perang Salib, tanpa tujuan yang jelas apa makna dari percakapan model sejarah ini.
Tidak berhenti sampai di sana, teologi kebencian itu kemudian dilipatgandakan dalam beragam forum, spanduk, majalah, buku saku, platform partai, media sosial dan ritus khotbah. Dikepunglah, misalnya, ruang publik di sejumlah kota yang seharusnya milik bersama dengan spanduk yang sangat provokatif, "Aliansi Nasional Anti-Syiah" dan lain sebagainya. Bahkan, fenomena terakhir, setiap ormas (dan agama) melakukan kontestasi memasang spanduk dan baliho di jalan-jalan utama, baik yang berkaitan dengan cara pengajian, shalawatan, pengobatan massal, perayaan Karbala, penggalangan sumbangan, dan iklan kapling kuburan lengkap dengan wajah ustaz dan tokoh yang dikenang itu.
Ternyata yang bernafsu fotonya ditampilkan di jalanan itu bukan hanya dari kalangan kerumunan politikus, melainkan juga semua kalangan. Persis sang Narsisus dalam mitologi Yunani yang tidak pernah bosan mengaca dirinya di depan telaga seraya mengagumi ketampanannya. Tidak peduli orang lain menertawakan dan mencemoohnya.
Akal waras
Tentu bagi umat yang kebanyakan pemahaman agamanya terbatas banyak yang "termakan". Lebih naif lagi pemerintah semacam gubernur, bupati, dan wali kota, yang semestinya netral dan menjadi lambang dari akal waras, malah ikut ambil bagian dalam lingkaran teologi kebencian.
Diakui atau tidak, kita selama ini sering kali di satu sisi mencerca segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan atas nama agama, etnik, dan mazhab. Namun, di sisi lain, justru lewat khotbah-khotbah penuh kebencian, pidato-pidato yang sarat permusuhan dan kekerasan itu sedang kita semai untuk pada suatu saat akan dituai bersama setelah semuanya luluh lantak.
Ia kemudian menjadi sebuah bom waktu dan ketika meledak baru semua merasakan dampak destruktifnya. Saat itulah baru kita sibuk mengupayakan islah dengan melibatkan semua pihak. Setelah korban bergelimpangan, kita baru tersadar bahwa teologi semacam itu bukan hanya tidak layak dirawat, melainkan harus ditanggalkan.
Teologi kebencian, inilah sesungguhnya yang menjadi muasal sengketa itu terus kekal— bahkan akan kian terlembaga—karena umat seolah mendapatkan pembenarannya dari ajaran Tuhan yang ditafsirkan para elitenya dengan keliru. Teologi kebencian bukan hanya sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa yang majemuk, melainkan juga dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah dengan susah payah dibangun para pendiri republik ini. Sejatinya teologi kebenciaan juga telah memberikan kontribusi menjadikan agama kian kehilangan wibawa dan Tuhan pun hanya diwiridkan dalam lorong gelap.
Dan akhirnya, agama pun dipandang sebelah mata: sekadar endapan insting-insting seksual (Freud), proyeksi manusia atas keterasingan dan ketidakmampuan dirinya menyelesaikan persoalan kehidupan (Ludwig Feuerbach), cerita Tuhan yang telah khatam (Friedrich Nietzsche), Tuhan yang dalam diri-Nya penuh kontradiksi (Jean-Paul Sartre).
Suara kritis ini sesungguhnya bermula dari tindakan para pemeluk agama yang meyakini teologi sebagai sumber kedamaian, tetapi justru tindakan keseharian penuh ambiguitas: menebar kebencian.
Asep Salahudin
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006607024
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar