Saya mengamini hal itu. Republik ini memang negeri pelangi. Sayang sekali, miskin bangunan narasi. Misalnya, sejauh ini tidak ada narasi suci mengenai Candi Borobudur yang ditebar ke belahan Asia. Padahal, wilayah ini didominasi pemeluk agama Buddha. Logisnya, Borobudur bisa menjadi pusat bagi pusaran religiositas mereka. Inilah salah satu tugas pemerintah: membangun narasi agar terwujud identitas "Indonesia Wow".
Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia yang cantik juga harus tegak di atas fondasi budaya demokrasi. Upaya beberapa pihak, termasuk pemerintah dan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yang ingin menarik pilkada kembali di saku para anggota DPRD adalah kemunduran politik. Dalam konteks ini, argumen yang mengatakan bahwa pemilu di Tanah Air terlalu liberal sulit dipahami.
Kebebasan memilih dan dipilih merupakan hak setiap warga negara. Apakah itu yang dimaksud pelaksanaan pemilu yang terlalu liberal? Jika dalam kampanye ada kandidat yang mempergunakan seluruh sumber daya politik yang dimiliki dan berdebat keras dengan kandidat lain, apakah itu yang disebut praktik pemilu liberal? Dus, terminologi itu membingungkan.
Oleh karena itu, apabila musyawarah mufakat dipakai sebagai patokan untuk melihat liberal-tidaknya keseluruhan proses politik di negeri ini, perundang-undangan yang mengatur bahwa partai pemenang pemilu otomatis menjadi ketua parlemen, baik di tingkat pusat (DPR) maupun daerah (DPRD), mementahkan tuduhan liberalitas tersebut. Fenomena itu mewujud karena berlakunya musyawarah mufakat. Itulah salah satu konsensus nasional kita.
Anehnya, justru mereka yang mengusung argumen pemilu liberallah yang menginginkan pimpinan DPR dipilih. Bahkan, mereka sudah mengundangkan UU MD3 (MPR, DPR, DPRD, DPD) yang direvisi. Ini jelas kontradiktif dan melawan prinsip musyawarah mufakat karena bersandar pada voting. Jadi kental nuansa liberalnya. Dengan demikian, secara hipotesis dapat dikatakan siapa pun yang mengatakan pemilu saat ini terlalu liberal adalah rancu cara berpikirnya.
Sama dengan ketentuan bahwa partai pemenang pemilu menjadi ketua DPR, pemilu langsung juga merupakan produk konsensus nasional. Dengan demikian, upaya menarik pilkada langsung menjadi sekadar dipilih DPRD sepenuhnya melawan gelombang perubahan sikap masyarakat yang sedang membongkar mitos-mitos lama. Salah satunya dengan memilih pemimpin secara langsung. Adalah benar pemerintahan daerah bisa juga efektif apabila gubernur dipilih langsung oleh rakyat dan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD dari tiga nama yang diusulkan gubernur.
Langkah itu untuk mengurangi kemungkinan ketidaktaatan bupati/wali kota kepada gubernur karena merasa sama-sama dipilih oleh rakyat, beda partai, tingkat pendidikan, gelar keningratan, kekayaan, dan lain-lain. Dalam pendekatan budaya politik, perbedaan status sosial-ekonomi tersebut dapat menjadi sumber ketidaktaatan bupati/wali kota. Kalau gubernurnya dipilih langsung, legitimasi bupati/wali kota jadi lemah.
Namun, dibandingkan dengan skenario tersebut, pilkada langsung tetap lebih mulia. Alasannya, seperti sering didiskusikan, pilkada langsung secara alamiah mendekatkan pembuatan kebijakan kepada rakyat. Ada dialog antara para pembuat keputusan dan rakyat. Pemimpin hadir di tengah rakyat.
Argumen itu mendapatkan stempel pengesahan ketika lahir pemimpin lokal yang bekerja dengan hati dan mempunyai kinerja luar biasa, seperti Tri Rismaharini (Surabaya), Nurdin Abdullah (Bantaeng), Ridwan Kamil (Bandung), Azwar Anas (Banyuwangi), dan Dedi Mulyadi (Purwakarta), mungkin menyusul Bima Arya (Bogor), dan lain-lain.
Melihat perkembangan yang optimistis tersebut, manuver politik untuk menarik kembali pemilihan kepala daerah di lorong DPRD menunjukkan mereka tidak saja menentang arus besar rakyat yang sedang berproses membangun budaya politik baru dengan membongkar mitos-mitos lama, tetapi juga memandang kebenaran sebatas sebagai alasan dan bukan fakta (Gottfried Leibniz, 1646-1716). Mereka menutup mata terhadap lahirnya pemimpin muda yang bekerja untuk rakyat dan terkungkung oleh kalkulasi kekuatan koalisi. Dengan menguasai 62 persen kursi parlemen, mereka merasa dapat mendudukkan banyak kepala daerah dan menguasai ranah politik nasional.
Tampaknya, ketidakikhlasan menerima kemenangan Jokowi yang mereka anggap wong ndeso telah menjelma menjadi syahwat politik yang bertujuan mengganggu dan mendelegitimasi pemerintahan Jokowi-JK nantinya. Mereka lupa budaya politik kita sedang berubah dari yang serba pusat ke periferal. Di sini, bukan penampilan fisik dan keglamoran lagi yang penting, melainkan pelayanan, gotong royong, dan kemandirian.
Itulah pijakan mentalitas-budaya (revolusi mental) menuju Indonesia Wow!
Sukardi Rinakit
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate dan Pendiri Kaliaren Foundation
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008911473
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar