Namun, tak ada pesta yang tak selesai. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, panggung politik dipastikan kian ramai oleh aksi goreng-menggoreng isu, negosiasi, dan lobi-lobi kepentingan.
Di dalam situasi itu, demokrasi terancam kembali menjadi klise. Di sinilah situasi kritis bagi demokrasi dan krusial bagi relawan. Relawan dihadapkan pilihan: lanjut ke depan, masuk gelanggang dengan genderang perang baru dibunyikan; atau surut ke belakang, meresikan diri karena menganggap kerja sudah selesai. Pilihan terakhir akan mengulang sinopsis awal reformasi: menyerahkan nasib bangsa lima tahun ke depan dalam mekanisme elite.
Tak gampang
Menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) berarti pilihan pada lanjut ke depan. Pilihan yang tidak gampang karena ia menuntut napas panjang. Namun, ia juga menunjukkan kreativitas berpolitik generasi hari ini untuk mencari dan menemukan strategi serta metode baru bagaimana mewarnai kekuasaan politik agar sejalan dengan harapan publik. Tulisan ini coba mendiskusikan hadirnya ormas relawan berkenaan dengan tantangan kembar yang bersifat internal dan eksternal.
"Jangan seperti serangga atau bunga cantik pada awal musim dingin yang gegas mati digulung badai," ujar Naomi Klein di hadapan ribuan orang muda dalam aksi Occupy Wall Street beberapa tahun lalu. Pesan Naomi itu lebih sebagai otokritik pada apa yang disebutnya kegagalan kultur gerakan membebaskan diri dari margin kesesaatan.
Institusionalisasi relawan, hemat saya, dilatari maksud menolak margin, melawan perangkap kesesaatan itu. Kehadiran ormas adalah alur linearitas sejarah tradisi relawan yang lahir pada masa Pilpres 2014. Karena itu, ia bukan sebentuk kooptasi apalagi pembonsaian, melainkan meng-upgrade karakter antitesis semasa pilpres. Bahwa, daya tarung melawan kekuatan politik dominan tidak berarti rampung seiring ketuk palu Mahkamah Konstitusi.
Menjadi ormas bukan tanpa risiko. Ketika karakter di atas ikut terlembagakan, substansi ormas adalah satu tubuh gerakan. Keberadaannya mesti disertai kepekaan analisis konteks dan pembacaan relasi kuasa. Ini akan menjaga ormas tetap berasosiasi langsung dengan gelombang tuntutan keadilan ekonomi, pemerintahan yang bersih, perbaikan kualitas pelayanan publik, penguatan partisipasi publik, dan dorongan reorientasi parpol.
Di wilayah paling fundamen, kehadiran ormas relawan jadi penegasan dan penjabaran ideologis terkait "siapa yang dilayani" dan "siapa yang diuntungkan". Penegasan dan penjabaran ideologis ini barometer reaksioner atau progresifnya ormas. Ini adalah pilihan yang terang benderang; apakah kehadiran ormas untuk melayani kepentingan orang-orang di lingkaran kekuasaan dengan mendapat keuntungan dari situasi itu, atau visibilitas kepentingan publik sebagai "pihak yang dilayani" dan publik sebagai "pihak yang diuntungkan".
Di kultur politik kita yang cenderung meredusir konflik (elite) ke dalam konsensus konservatif—lewat politik bagi-bagi dagang sapi, di sisi yang lain, situasi demokrasi liberal meniscayakan konflik, baik dengan istilah oposisi maupun di dalam relasi kuasa yang tersebar. Baik konflik maupun konsensus (elite), pada kenyataannya tetaplah pisau bermata rangkap yang mencederai kepentingan publik.
Publik hanya jadi niskala di dalam kultur kekuasaan politik, seperti istana besar dipagari tembok tinggi. Ia tidak bisa ditembus kehendak publik. Keterlibatan publik absen. Dalam konteks kultur kekuasaan yang kedap dari kepentingan publik ini, perlu institusionalisasi relawan sebagai kekuatan penyeimbang.
Mengarsiteki demokrasi
Selain itu, kehadiran ormas juga akan makin memperjelas keterlibatan publik tidak hanya sebatas kawal dan kritik, tetapi juga diwujudkan lebih jauh lewat strategi kolaborasi, komplementasi, dan transformasi. Ketiga strategi ini diaplikasikan mulai dari desain kebijakan pembangunan ekonomi didasari tujuan-tujuan sosial, diikuti citizen education, termasuk leadership development dan advokasi penguatan partisipasi warga, sampai ke reorientasi parpol.
Strategi kolaborasi dan komplementasi menyasar metode partisipasi dalam manajemen sosial kita untuk demokrasi yang membuka pintu bagi keadilan sosial. Strategi transformasi tujuannya lebih spesifik, yakni reorientasi parpol. Yang disebut terakhir ini akan makin memperjelas karakter antitesis ormas—jika itu yang diambil—tidak saja atas struktur, tetapi juga kultur yang membentuk sejarah trayektori gerakan sosial dan gerakan politik kita.
Di satu sisi, gerakan sosial tumbuh mengakar dan menyebar, tetapi cenderung mengisolasi diri dalam logika perlawanan. Di sisi lain, gerakan politik terperangkap orientasi sempit organisasi politik yang minim komitmen keadilan sosial. Membangun dialog antarkedua polar ini akan menyelamatkan parpol, yang berarti menyelamatkan demokrasi dari menjadi klise.
Reorientasi parpol membuat partai tidak lagi jadi alat elite atau kelompok kepentingan membeli kekuasaan. Parpol didorong jadi "rahim" lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang responsif dengan komitmen kuat pada proses demokratisasi. Di Brasil dan negara kawasan Pegunungan Andes, seperti Argentina, Bolivia, Cile, dan Venezuela, kepemimpinan jenis ini serupa Tembok Tiongkok yang membentengi hak-hak warga negara dari keserakahan crony-capitalism dalam wujud jaringan mafia.
Sejauh mana ormas relawan, yang kehadirannya didasari keyakinan dan gairah pada perubahan, sukses mengarsiteki demokrasi berbasis daya cipta publik? Suatu demokrasi dengan kekayaan inisiatif dan inovasi, harapan dan impian; demokrasi yang terbebaskan dari kultur konflik dan konsensus elite. Jawabannya terletak di antara pilihan yang terang benderang.
Agus Hernawan
Bergiat di Populis Institute
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008662909
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar