Ini kemudian bercabang kepada persoalan apakah negara perlu membuat Kementerian Kebudayaan secara khusus. Yang menarik, diskusi ini berkelindan di tengah krisis mental yang sedang melanda di banyak lini. Segunduk ihwal yang menyebabkan presiden terpilih Joko Widodo meneriakkan revolusi mental berkali-kali.
Pemahaman atas kebudayaan bisa diberangkatkan dari rumusan demikian. Pertama, kebudayaan yang diartikan sebagai seluruh prestasi dari kehidupan bersama dalam mengelola seluruh aspek yang ada, sebagaimana ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi merumuskan. Maka sistem pendidikan, sistem politik, sistem ekonomi, dan aneka sistem lain adalah hasil dari kebudayaan. Semua sistem itu dibentuk untuk menciptakan alur agar manusia berjalan di koridor tata aturan taat asas, yang kemudian disebut sebagai etika.
Dengan begitu, ilmu-ilmu sosial memandang kebudayaan lewat sisi etimologi kata budaya, budi dan daya. Lalu, mendefinisikan kebudayaan sebagai himpunan keseluruhan dari semua cara manusia berpikir (baik), berperasaan (baik), dan berbuat (baik) sehingga yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat adalah segala sesuatu yang baik-baik. Semua itu dikonsepkan untuk bisa dipelajari dan dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, disertai pengembangan sesuai dengan zamannya.
Kedua, kebudayaan yang diartikan sebagai upaya manusia untuk melakukan penghalusan pribadi dan masyarakat. Kata penghalusan di sini merupakan terjemahan dari sani, yang artinya segala sesuatu yang rinci, indah, dan luwes. Itu adalah sebuah kosa Nusantara lama yang merupakan awal dari kata seni. Kita tahu seni mengacu kepada estetika. Apabila etika terpresentasi hanya sebagai sesuatu yang abstrak, maka estetika bisa hadir sebagai yang abstrak dan yang konkret.
Titik kristal utama
Lalu peta dari wilayah kebudayaan pun diaksentuasi oleh dua titik kristal utama, yang masing-masing terletak di ujung sebuah garis. Kristal di kutub sini disebut etika, yang memangku keluhuran pelaku sistem dan prestasi, sebagai hasil pengawinan budi (baik) dan daya (besar). Sementara itu, kristal sebelah sana adalah estetika, yang merupakan tanda, presentasi, representasi, dan sekaligus dokumentasi dari keluhuran perilaku yang diwujudkan dalam keindahan yang kemudian disebut sebagai kesenian.
Meski memiliki perspektif yang sama untuk menuju muara keadaban dan peradaban, etika dan estetika berdiri sendiri-sendiri. Keduanya akan selalu bertatap pandang dan pada saatnya akan saling melengkapi dan mengoreksi.
Itu sebabnya adalah benar ketika ada orang yang mengatakan bahwa rusaknya mental sebagian bangsa Indonesia yang gemar nyopet, nyolong, korupsi, tidak patuh, rusuh, berbuat cabul, omong kotor (di rumah, di internet, sampai di siaran hiburan televisi) adalah presentasi dari rusaknya etika. Juga lunturnya naluri berindah-indah yang menyebabkan joroknya desa, kampung, dan kota, serta hilangnya sensibililitas masyarakat kepada keelokan adalah tanda dari keroposnya estetika. Padahal, naluri dan potensi estetika bangsa Indonesia—yang terkulminasi dalam ribuan jenis karya seni— bertumpuk banyaknya.
Etika akan hancur apabila estetika jadi pecundang. Estetika bisa lumat jika kebusukan etika terus merembet. Sampai di sini, garis peradaban akan lapuk dan tinggal kenangan.
Departemen khusus
Maka, apabila negara ingin merevolusi mental dan memperbaiki budi pekerti rakyatnya, sebuah departemen khusus yang mengurusi dan menguatkan garis kebudayaan ini harus dibentuk pemerintahan Jokowi-JK. Departemen itu adalah Kementerian Etika dan Estetika yang merupakan elaborasi dari Kementerian Kebudayaan. Sebuah "kementerian darurat" yang diyakini amat banyak pekerjaannya.
Semoga kalkulasi efisiensi anggaran yang ditegas-tegaskan Jokowi bukan menjadi hambatan mengingat tumbuhnya mental berkebudayaan tidak bisa dibandingkan dengan uang.
Agus Dermawan T
Penulis Buku-buku Kebudayaan dan Kesenian
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008661101
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar