Warga Desa Wulandoni dan Pantai Harapan terlibat "perang" antarkampung. Konflik yang berawal dari masalah tanah itu bisa saja meluas kalau tidak diredam oleh aparat keamanan dari tiga kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengapa peristiwa itu bisa terjadi? Lalu, apa pembelajaran yang mestinya dipetik dari tragedi ini?
Artikel R Yando Zakaria, "Catatan atas Konflik Tanah di Negeri Bersuku-suku" dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung (2002), mengungkapkan fakta mencengangkan. Bagi praktisi antropologi, relawan pada Institute for Social Transformation (Insist) dan Koordinator Program Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) ini, tingkat konflik tanah cukup besar di Flores. Ada desa yang tingkat konfliknya bahkan mencapai 50 persen kasus dan terendah adalah 6,67 persen.
Pada tingkat konflik antarkelompok warga dengan sekelompok warga dari desa lain, angkanya lebih menakjubkan lagi. Ada desa yang mencapai angka 60 persen. Kebinekaan suku yang mestinya jadi kekayaan justru menjadi bahaya laten.
Maraknya konflik seperti ini tentu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi kejadian yang sudah lama terpendam. Tiap-tiap kelompok memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya.
Sayangnya, klaim atas tanah itu bersifat parsial. Ia dikisahkan dalam lingkupnya sebagai sebuah kebenaran tunggal. Di satu pihak, ia menjadi kebanggaan karena berkisah tentang keperkasaan diri pada masa lalu. Di pihak lain, ada yang mewarisi kisah sebagai korban. Hak ulayat terpaksa diserahkan karena adanya pemaksaan. Ia kian parah ketika negara sebagai supra-suku, yang mestinya hadir meluruskan kisah, ternyata lebih propenguasa.
Dalam perspektif Coser Lewis, dalam Master Sociological Thought (1977), kisah parsial itu menjadi bahaya laten yang setiap saat bisa meledak. Jelasnya, kelihatan ia menjadi kisah tak realistis dan kerap dianggap sepele. Akan tetapi, yang terjadi justru ia menunggu simbol fisik-realistis sebagai pemicu terjadi konflik terbuka.
Kenyataan semacam inilah yang terjadi antara warga Wulandoni dan Pantai Harapan di NTT. Pembangunan talut atau pemasangan papan nama menjadi tanda realistis yang memungkinkan konflik terbuka terjadi.
Ruang narasi
Konflik sangat kerap terjadi karena perbedaan pandangan tidak secara utuh dikemas. Pemerintah kerap lebih mudah mengambil jalan represif, entah lewat kekerasan fisik ataupun melalui peranti hukum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang telah dicabut itu, bisa saja menjadi salah satu bagian dari masalah. Desa ingin dikelola sebagai ruang publik sambil secara nyata mengangkangi hak adat yang selama itu dihidupi.
Luka itu kini bisa terobati dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di sana desa adat diakui, dan ini mestinya menjadi sebuah momen menggembirakan. Hak adat itu mendapatkan ruang yang selama ini dirampas.
Namun, hal itu belum final. Di negeri bersuku-suku, seperti Flores dan Lembata, pengakuan desa adat bisa saja membuka konflik baru. Desa jadi kumpulan aneka suku yang masing-masing bisa mengklaim sebagai yang paling berhak dalam era desa adat.
Dalam konteks ini, desa adat mestinya dirumuskan lebih jauh agar lebih implementatif. Minimal ia perlu menjadi wadah dialog yang memungkinkan kisah berbeda diluruskan. Di atasnya, sebuah pembaruan bisa diharapkan terjadi. Pada saat bersamaan, perlu upaya sejalan untuk menata desa "formal". Pada desa yang memiliki konflik, perlu dipupuki kesatuan sosial atau loyalitas ganda.
Dalam dimensi ini, masyarakat antardesa akan makin intens berinteraksi karena ada ikatan sosial yang menyatukan mereka. Loyalitas pun akan meluas karena mereka tidak terbatas pada kesatuan desa, tetapi melampauinya oleh kesatuan yang pada saat bersamaan dimiliki juga dengan warga di desa lain.
Tuntutan ini menjadi sangat kuat dan urgen, terutama di desa yang memiliki latar belakang budaya (khususnya agama) berbeda. Mereka mesti sadar, konflik yang terjadi karena perbedaan paham dengan mudah bisa disulut menjadi konflik terbuka. Loyalitas ganda bisa jadi peredam karena upaya perdamaian akan lebih kuat daripada peperangan lantaran dinetralisasi oleh loyalitas tersebut.
Pada akhirnya, baik desa "formal" maupun desa adat yang merupakan basis terkecil dan "ujung tombak" otonomi mesti dibekali juga dengan kepiawaian dalam resolusi konflik. Di sana mereka diajak untuk mendeteksi munculnya konflik dan segera melaksanakan strategi meredamnya agar hal itu tidak meluas.
Hal inilah yang mestinya jadi fokus perhatian. Konflik tanah menyadarkan bahwa resolusi menjadi urgensi yang harus disikapi. Ia tidak sekadar melerai, tetapi juga secara antisipatif membuka narasi dialog agar dimungkinkan muncul sebuah perdamaian dan harmonisasi yang lebih berkualitas.
Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik pada Universidad Complutense Madrid, Spanyol
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008678491
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar