Tanpa melalui proses konsultasi publik, sejumlah fraksi DPR berniat mengubah aturan pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati. Dari aturan semula, dipilih langsung oleh rakyat, diubah menjadi dipilih oleh DPRD. Jika keinginan mayoritas fraksi di DPR terwujud dan RUU Pemilihan Kepala Daerah disahkan, inilah gelombang balik demokrasi. Reformasi mati muda dan kembali ke era Orde Baru, ketika presiden dipilih MPR dan gubernur/wali kota/bupati dipilih oleh DPRD.
DPR ngotot akan mengesahkan RUU Pilkada pada 23-25 September 2014 sebelum masa jabatan mereka berakhir. Segala aspirasi dan argumentasi publik, termasuk sejumlah gubernur, wali kota, dan bupati yang menolak pilkada oleh DPRD, tampaknya diabaikan begitu saja. Mayoritas elite politik sampai pada niat: pokoknya kepala daerah dipilih DPRD. Kalau tidak sependapat, voting dan mayoritas fraksi akan menang! Segala argumentasi bisa dicari untuk mewujudkan rencana politik itu.
Dalam cara pandang "pokoknya", wajar jika argumentasi apa pun tidak akan didengar pimpinan partai di DPR. Wajar jika petisi rakyat diabaikan. Dalam posisi itu, beralasan jika kita berharap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Posisi Yudhoyono, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, sentral dan strategis. Draf awal usulan RUU Pilkada berasal dari pemerintah. Masyarakat yakin Presiden Yudhoyono tidak akan mengembalikan bandul demokrasi dari demokrasi rakyat menjadi demokrasi elite. Yudhoyono adalah presiden pertama Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Bahkan, Presiden Yudhoyono mendapat dua kali mandat rakyat dan berkuasa selama 10 tahun dan baru berakhir 20 Oktober 2014.
Pandangan Yudhoyono soal demokrasi antara lain bisa dibaca dalam buku Selalu Ada Pilihan (2014). Yudhoyono menulis di halaman 65, "Posisi saya cukup jelas, demokrasi adalah pilihan kita. Dengan segala kelemahan dan sisi buruknya, sistem demokrasi jauh lebih baik dari sistem politik yang lain. Tentu, demokrasi yang hendak kita bangun adalah demokrasi yang matang, teduh, dan stabil. Demokrasi yang berkualitas".
Bahwa pilkada langsung mempunyai ekses itu jelas dan tak bisa disangkal! Ekses itu harus diatasi, tetapi tidak dengan cara mengambil hak rakyat untuk memilih pemimpin. Hal memilih dan berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak asasi manusia. Pemilu serentak, pembatasan biaya kampanye, dan sistem pilkada elektronik (e-voting) yang sudah diakomodasi Mahkamah Konstitusi bisa menjadi pilihan untuk mengatasi ekses itu.
Bangsa ini harus bergerak ke depan dan bukan mundur ke belakang dalam rangka menyongsong demokrasi era digital. Kita yakin Presiden Yudhoyono tetap akan mewariskan demokrasi dan pembelaan terhadap partisipasi politik rakyat kepada bangsa Indonesia.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008891567
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar