Sesuai peta jalan (road map) PT Pertamina (Persero), kenaikan harga elpiji 12 kg masih akan berlanjut, yakni pada 1 Januari 2015,
1 Juli 2015, dan 1 Januari 2016, dengan besaran Rp 1.500 per kg. Berbeda dengan tarif listrik yang ditetapkan pemerintah, harga elpiji 12 kg murni otoritas Pertamina karena tidak termasuk barang bersubsidi. Pemerintah hanya menyubsidi harga elpiji untuk tabung 3 kg. Dengan begitu, Pertamina berhak menjual elpiji 12 kg sesuai dengan harga pasar secara bertahap hingga 1 Januari 2016.
Ketiga, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dihadapkan pada dilema serius terkait dengan membengkaknya subsidi energi. Di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), perdebatan soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) masih terjadi. Selama 10 tahun sebagai oposisi, mereka konsisten menolak kenaikan harga BBM sehingga ada beban politis dan mungkin ideologis ketika tiba-tiba harus mengubah sikap begitu berkuasa.
Jeffrey Frankel, ekonom Universitas Harvard, baru-baru ini menulis artikel berjudul "The Subsidy Trap". Dia membandingkan respons kebijakan pemimpin baru di Mesir, India, dan Indonesia terkait subsidi. Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi diapresiasi karena berani memotong subsidi BBM sehingga terjadi kenaikan harga 41 persen-78 persen.
Sebaliknya, perdana menteri baru India, Narendra Modi, dianggap gagal melakukan reformasi subsidi karena mempertahankan subsidi energi. Padahal, 52 persen subsidi dinikmati kelompok masyarakat paling kaya (wealthiest) dan hanya 0,1 persen subsidi gas yang tersalurkan kepada kelompok termiskin di pedesaan. Lebih jauh, Modi dianggap melakukan blunder kebijakan sebab mempertahankan subsidi pertanian yang bertentangan dengan prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bagaimana dengan Jokowi? Frankel menulis, terlalu dini untuk dikatakan.
Hampir sama dengan persoalan di banyak negara berkembang, Indonesia menghadapi tekanan fiskal akibat meningkatnya subsidi energi. Sebagai gambaran, dalam 10 tahun terakhir terjadi lonjakan subsidi BBM sekitar 16 kali lipat. Dari hanya Rp 14 triliun tahun 2004 menjadi lebih kurang Rp 240 triliun tahun 2014. Demikian pula dengan subsidi listrik yang melonjak lebih dari 20 kali lipat pada periode yang sama, dari hanya Rp 3 triliun menjadi Rp 71 triliun. Padahal, peningkatan APBN hanya empat kali, dari
Rp 374 triliun menjadi Rp 1.842 triliun tahun 2014 ini. Sementara belanja modal naik sekitar lima kali lipat, dari Rp 39,7 triliun menjadi Rp 229,5 triliun.
Pemerintahan Jokowi menghadapi dilema besar karena konsumsi energi akan terus meningkat sehingga menimbulkan implikasi kompleks pada fiskal dan perekonomian. Namun, jika subsidi energi dikurangi, hal itu akan menimbulkan beban masyarakat. Pemerintah memang memiliki tugas menjamin kesejahteraan masyarakatnya, tetapi benarkah kesejahteraan bisa diciptakan dengan mempertahankan subsidi energi?
Kelompok negara paling maju soal kesejahteraan sosial adalah Skandinavia (Denmark, Swedia, dan Norwegia). Di sana masyarakat harus membayar lebih mahal harga energi fosil. Tak hanya harus membayar sesuai harga pasar, tetapi juga ada berbagai pungutan yang membebani konsumsi minyak bumi. Mereka sudah mulai beralih ke konsumsi energi terbarukan. Tentu saja membandingkan masyarakat kita dengan mereka tak sepadan, baik dari sisi tingkat pendapatan maupun fasilitas publiknya. Pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dan perumahan semuanya mendapat alokasi dari pemerintah.
Meskipun jauh berbeda, pertanyaannya, apakah kita akan mengarah pada cita-cita "negara kesejahteraan" seperti mereka? Jika begitu, tak ada pilihan selain mengubah arah kebijakan fiskal kita menuju peningkatan pendapatan dan penyediaan fasilitas publik. Oleh karena itu, alokasi subsidi energi harus dialihkan ke alokasi lain sehingga dalam jangka panjang ada perbaikan dalam kualitas hidup masyarakat. Namun, dalam jangka pendek, pasti menimbulkan peningkatan jumlah dan intensitas kemiskinan. Pemerintah harus "menyubsidi langsung" kelompok paling rentan ini dengan mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, selebihnya, harus ada jaminan anggaran digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kapasitas penduduk dalam hal pendidikan, kesehatan, perumahan, dan peningkatan daya saing perekonomian.
Jika lambat merespons subsidi BBM, Jokowi-JK justru akan "dihukum" dari berbagai sisi. Pertama, cita-cita pembangunan yang terangkum dalam sembilan program (Nawacita) berpotensi menjadi macan kertas karena tidak didukung kemampuan fiskal yang memadai. Kedua, tidak memberikan sesuatu yang baru karena "hanya" melanjutkan pola kebijakan rezim sebelumnya. Cita-cita perubahan akan segera kandas.
Ketiga, jika terlambat mengambil sikap soal BBM, itu hanya akan mengulangi kejadian tahun lalu, yakni pengumuman kenaikan harga BBM berimpitan dengan pengumuman rencana pengurangan stimulus di Amerika Serikat. Tahun depan akan ada momentum kenaikan suku bunga The Fed (The Fed funds rate). Pemerintahan Jokowi-JK memang mewarisi situasi tidak sehat sehingga harus berani bergerak cepat. Tentu aharus dibarengi dengan reformasi kelembagaan, terutama terkait transparansi sektor energi dan jaminan bagi kelompok termiskin.
Dalam dua tahun ke depan, pemerintah baru memang belum bisa ekspansif, hanya bisa fokus pada masalah-masalah pokok. Namun, dengan mitigasi yang baik, setelah itu situasinya akan lebih baik sehingga mampu tumbuh berkualitas dengan peningkatan kesejahteraan rakyat secara memadai.
A Prasetyantoko
Atma Jaya School of Economics and Business
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008891367
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar