Sebagai negara pengguna energi, Jepang diuntungkan penurunan harga minyak dunia sehingga punya kesempatan mendorong pilar terakhir Abenomics, yaitu meningkatkan daya saing ekonomi domestik. Demikian juga India yang berencana mendorong industrialisasi secara masif sebagai bagian dari program Modinomics seiring dengan turunnya harga energi global. Bagaimana dengan Indonesia?
Minyak mentah West Texas Intermediate untuk pengiriman Januari sempat turun ke harga 54,11 dollar AS per barrel di New York Mercantile Exchange. Turunnya harga minyak disebabkan dua hal pokok. Pertama, faktor fundamental terkait dengan penurunan permintaan energi akibat pertumbuhan global masih lemah. Kedua, faktor kompleksitas geopolitik global. Oleh karena itu, tak ada jaminan harga minyak tak akan naik lagi pada masa depan.
Penurunan minyak dan dinamika nilai tukar menandai perang kepentingan antarnegara dalam rangka pemulihan ekonomi. Ada kecenderungan setiap negara menjalankan kebijakan beggar-thy-neighbour atau kebijakan berorientasi domestik yang cenderung merugikan negara lain. Tanpa harus merugikan negara lain, sepertinya kita harus merumuskan yang kita mau terkait dengan dinamika harga minyak dunia.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas telah mengeluarkan rekomendasi. Dua yang terpenting adalah menghapus produksi bensin jenis RON 88 dan mengganti dengan RON 92 yang lebih ramah lingkungan serta mengusulkan sistem subsidi tetap. Rekomendasi pertama mensyaratkan revitalisasi kilang pengolah minyak oleh Pertamina. Rekomendasi kedua membutuhkan legislasi dari parlemen. Keduanya tidak mudah secara teknis dan politis.
Meskipun sulit secara teknis, rekomendasi pertama jauh lebih memungkinkan segera dijalankan pemerintah. Adapun rekomendasi kedua membutuhkan kerja politik. Sangat mungkin perlu perombakan kabinet untuk mengakomodasi partai koalisi yang akan bergabung.
Jalan tengah bisa dilakukan dengan memproduksi premium bersubsidi (RON 88) secara terbatas. Selebihnya memperbanyak premium nonsubsidi (RON 92). Jalan apa pun yang diambil pemerintah sebaiknya diletakkan dalam konteks besar strategi pembangunan ke depan. Perlu ada definisi konkret dari Jokowinomics. Penurunan harga minyak harus dimanfaatkan untuk mempercepat program pembangunan ala Joko Widodo.
Penerapan subsidi tetap dengan menentukan besaran subsidi setiap liter premium dan solar, misalnya Rp 1.000 per liter, akan mengubah lanskap fiskal kita. Pertama, ada kepastian besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk satu tahun anggaran sehingga revisi APBN bisa diminimalkan. Kedua, memberikan ruang penambahan belanja modal untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
Ada dua opsi kebijakan subsidi tetap, yakni diberikan kepada produsen atau konsumen.
Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah menorehkan sikap politiknya dalam pengelolaan ekonomi saat menaikkan harga BBM bersubsidi pada November lalu. Seperti disampaikan dalam pidato pengumuman kenaikan harga, pemerintah ingin mengubah lanskap perekonomian, dari berbasis konsumsi menjadi produksi. Pernyataan ini bisa menjadi kerangka politik dalam kebijakan ekonomi yang diterjemahkan dalam strategi yang lebih mikro dan sektoral. Penerapan sistem subsidi tetap bisa dimaknai sebagai tindak lanjut upaya membangun basis produksi dalam perekonomian domestik.
Selama sepuluh tahun terakhir, tak ada kebijakan industrial yang memadai dalam rangka membangun basis ekonomi produktif. Ini saatnya kembali pada kebijakan industrial yang benar dengan cara merumuskan peran pemerintah dalam perekonomian.
Ruang fiskal Rp 230 triliun yang diproyeksikan tersedia dalam R-APBN 2015 sebagai dampak dari kebijakan BBM dan reformasi perpajakan bisa menjadi modal awal yang memadai untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
Investasi asing harus diarahkan untuk lebih banyak membangun industri penghasil bahan baku di dalam negeri agar permintaan bahan baku impor bisa dikurangi secara sistematis. Selain itu, daya saing produk ekspor nonmigas kita harus mendapatkan perhatian, baik lewat komitmen fiskal maupun regulasi lain.
Penurunan harga minyak di pasar dunia ini harus dimanfaatkan dengan baik karena momentum ini tak akan datang lagi dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Harus diakui, kebijakan ekonomi selalu mengandung unsur "keberuntungan". Namun, hal yang lebih penting adalah memanfaatkan keberuntungan parsial ini dalam kerangka lebih besar, dalam kebijakan industri dan ekonomi secara umum. Penurunan harga minyak harus mampu mendorong Jokowinomics.
A Prasetyantoko
Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010903478
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar