Dalam lima tahun terakhir, utang luar negeri (ULN) swasta meningkat dua kali lipat menjadi 159 miliar dollar AS (September 14) dari 74 miliar dollar AS (2009). Pesatnya kenaikan ini terlihat sejak 2012, jauh melebihi utang pemerintah. Pada September 2014, komposisi ULN swasta 55% dari total ULN. Sebagian besar ULN swasta tak memproteksi lindung nilai, perusahaan swasta hanya melindung nilai sekitar 13,6%. Jika tiba-tiba ada gejolak eksternal, Indonesia bisa saja mengalami krisis ekonomi dan moneter seperti 1997/1998.
Itulah salah satu alasan BI mengeluarkan peraturan terkait ULN swasta yang diterbitkan 28 Oktober 2014. BI menerapkan prinsip kehati-hatian mengelola ULN korporasi nirbank yang berlaku mulai 1 Januari 2015. BI mewaspadai ULN swasta (khususnya korporasi nirbank) rentan terhadap risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko beban utang berlebihan. Karena itu, peraturan itu mencakup pemenuhan rasio lindung nilai minimum, rasio likuiditas minimum, dan peringkat utang minimum.
Krisis 1997/1998 pelajaran berharga dan menyakitkan bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi -13%, rupiah terhadap dollar AS terpuruk tajam dengan depresiasi sekitar 244% dari 2,902 (1997) ke 9,974 (1998) dan rata-rata harga saham anjlok -31%. Salah satu sebab kerapuhan itu adalah ULN swasta yang amat besar dan tak terkendali disertai banyaknya utang jatuh tempo. Diduga sebagian perusahaan tak memitigasi risiko dengan baik. Banyak perusahaan gagal bayar dan itu berimbas pada kehancuran kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro.
Pengelolaan utang terasa sangat sulit saat itu sebab Indonesia tak punya data akurat berapa besar utang swasta yang jatuh tempo. Menurut IMF, total ULN 160 miliar dollar AS (1998), naik 58% dibandingkan pada 1994 yang 101 miliar dollar AS. Cadangan devisa Indonesia kurang begitu kuat menopang rupiah, tercatat hanya 23 miliar dollar AS, atau rasio cadangan devisa terhadap total external debt relatif rendah: 14%.
Tak heran jika saat itu BI dan pemerintah sulit mencari obat manjur mengatasi krisis itu. Krisis bergerak amat cepat meruntuhkan sendi perekonomian. Rupiah bergerak liar sebab permintaan akan dollar naik signifikan.
Hati-hati mencermatinya
Melihat perkembangan data ULN swasta ini, kita perlu berhati-hati. Apalagi mata uang dollar AS mendominasi total ULN Indonesia. Pada 2009, 58% dari ULN dalam bentuk dollar AS dan meningkat jadi 70% pada September 2014. Ini bisa jadi sumber petaka bagi pelemahan rupiah.
Mari belajar dari krisis masa lalu. Saat krisis ekonomi global 2008, Indonesia lebih siap ketimbang negara lain di ASEAN. Perekonomian Indonesia bisa bertahan dengan pertumbuhan positif 4,6%. Malaysia, Singapura, dan Thailand tumbuh negatif. Rata-rata rupiah per dollar AS hanya terdepresiasi 7,4% pada 2009 dan saham hanya turun 6%. Total ULN masih terkelola sebesar 173 miliar dollar AS dengan dukungan cukup kuat dari cadangan internasional 66 miliar dollar AS. Artinya, rasio cadangan devisa terhadap total ULN 38% jauh lebih baik ketimbang krisis 1997/1998 yang hanya 14%.
Pemulihan krisis ekonomi global 2008 memaksa negara maju melakukan kebijakan ekonomi moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuannya dan dipertahankan rendah dalam waktu cukup lama. AS mempertahankan suku bunga acuannya 0,25% hampir enam tahun. Juga Jepang (0,1%). Uni Eropa terus menurunkan suku bunga acuannya sampai titik terendah, 0,05%, sejak Juni 2014.
Tren suku bunga rendah ini tak diikuti penurunan suku bunga acuan BI, yang malah naik 1,75% jadi 7,50% pada 2013 dan naik lagi 0,25% pada November 2014 menjadi 7,75%. BI berharap ini mampu memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan secara signifikan dan meredam ekspektasi inflasi karena kenaikan harga BBM bersubsidi sehingga rupiah dapat bergerak stabil.
Kelihatannya kebijakan ini tak efektif meredam pelemahan rupiah di atas level psikologis 12.500 per dollar AS, yaitu Rp 12.665 per 15 Desember 2014. Di luar dugaan, perekonomian melambat signifikan ke 5-5,1% dari ekspektasi awal 5,6%. Tingginya suku bunga domestik memperlambat pertumbuhan kredit dari 21% Januari 2014 jadi 13% September 2014, dan mungkin hanya sekitar 11% pada akhir 2014, jauh dari ekspektasi BI 15%-17%.
Situasi ini membingungkan pelaku pasar: mengapa Indonesia menganut suku bunga tinggi berlawanan arah dengan suku bunga rendah negara maju. Dalam 2009-2014, rata-rata rentang suku bunga acuan BI atas suku bunga acuan AS sangat lebar: 6,4%. Rentang suku bunga kian lebar ketika BI kembali menaikkan suku bunga pada November 2014 ke 7,75%, sedangkan suku bunga acuan AS tetap 0,25%.
Tren pinjaman ULN swasta meningkat tajam. Logis dan wajar sebab pengusaha cari pinjaman luar negeri dengan biaya amat murah meski risiko nilai tukarnya cukup tinggi. Per sektor ULN terbesar di manufaktur (25%); diikuti pertambangan dan penggalian (20%); listrik, gas, dan air minum (14%); serta keuangan dan jasa (13%). Saat suatu sektor berorientasi ekspor, ULN yang besar bukanlah ancaman. Yang bisa jadi ancaman, produksinya berorientasi domestik sebab pendapatannya dalam rupiah.
Sudah tepat
Dengan model input-output Leontief, penerima Nobel ekonomi, sektor manufaktur Indonesia hanya mengekspor 24% dari total output, pertambangan dan penggalian mengekspor 34%. Listrik, gas, dan air minum 100% dijual di domestik. Wajar kita berhati-hati dengan membengkaknya ULN swasta nirbank sektor manufaktur karena penerimaan pendapatannya lebih banyak rupiah daripada dollar.
Sektor pertambangan dan penggalian sedikit lebih baik daripada sektor manufaktur. Persentase ekspornya jauh lebih tinggi (34%). Namun, itu tak berarti risikonya lebih rendah daripada sektor manufaktur. Sektor ini amat dipengaruhi pergerakan harga komoditas dunia yang cenderung berfluktuatif. Listrik, gas, dan air minum adalah sektor paling berisiko ULN-nya karena 100% pendapatannya rupiah.
Dibandingkan negara lain, risiko ULN swasta Indonesia cukup tinggi. Dalam pertemuan tahunan makan siang para bankir disebutkan, rasio ULN swasta Indonesia atas PDB 31,2%, lebih tinggi dari India (23,5%), Brasil (21,6%), dan Tiongkok (8,5%). Saya kira BI cukup jeli melihat tren kenaikan ULN, terutama ULN swasta. Kebijakan BI mengharuskan lindung nilai ULN memitigasi risiko perlu diapresiasi positif. Mungkin dalam waktu dekat ada tekanan terhadap rupiah karena ada peningkatan permintaan dollar AS oleh perusahaan.
Sebenarnya yang lebih penting dalam jangka menengah adalah tren suku bunga domestik diarahkan turun. Gebrakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengurangi subsidi BBM sudah tepat, apalagi dananya dialihkan ke sektor produktif, terutama pembangunan infrastruktur. Ketika infrastruktur membaik dan keterhubungan antarpulau berjalan mulus, kita tinggal tunggu waktu bahwa inflasi akan turun kontinu dan stabil. Peluang suku bunga rendah akan kian besar dan ini bisa menolong rupiah bergerak ke nilai fundamentalnya dan perekonomian lebih sehat, bersinambung.
Anton Hendranata
Ekonom Kepala PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010757579
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar