Seruan itu dikemukakan Paus dalam pesan Natalnya "Kepada Kota dan Dunia" di hadapan ribuan umat Katolik di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Kamis (25/12). Ia menegaskan, "Sungguh terlalu banyak air mata dalam Natal kali ini."
Ia merujuk kepada kekerasan yang dilakukan kelompok militan di kawasan Irak dan Suriah. Demikian juga dengan penyerangan terhadap anak sekolah di Peshawar, Pakistan, yang mengakibatkan 149 orang tewas, dengan 133 orang di antaranya anak-anak. Ia mengecam pula konflik yang terjadi di Ukraina, Libya, dan sejumlah tempat lain, serta mendesak dilakukan dialog antara Palestina dan Israel.
Kekerasan yang dilakukan atas nama agama itu mengaduk-aduk perasaan keagamaan kita. Oleh karena agama mengajarkan kepada kita untuk tidak membunuh sesama, tetapi pada saat yang sama kita menyaksikan berapa banyak orang terbunuh atau bahkan dibunuh atas nama agama.
Akan tetapi, itu bukanlah fenomena baru. Itu adalah fenomena yang mungkin sama tuanya dengan sejarah perjalanan agama itu sendiri. Raden Ajeng Kartini (1879-1904), pejuang emansipasi perempuan Indonesia, pun merasa "terganggu" dengan banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama.
Dalam suratnya kepada Stella Abendanon, 6 November 1899, ia menulis, "Ya Tuhanku, adakalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang sebenarnya harus mempersatukan hamba Allah, sejak dari dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, menjadi sebab perkelahian, berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya. Agama harus menjaga kita daripada dosa, tetapi betapa banyaknya dosa diperbuat atas nama agama."
Kekerasan, perang, dan konflik yang tidak berkesudahan itu membuat salah seorang eks anggota band The Beatles, John Lennon, meliris lagu berjudul "Imagine", 9 September 1971. Dalam lirik lagunya, ia membayangkan suatu dunia tanpa negara dan juga agama sehingga tidak perlu ada orang-orang yang terbunuh untuk membela atau mempertahankannya.
Namun, apa yang disuarakan John Lennon itu merupakan cerminan dari orang-orang yang putus asa karena merasa tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya.
Sebagai umat beragama, kita dapat mengambil bagian dalam upaya mencegah terjadinya fenomena itu. Kita tidak boleh menyerah. Dalam kaitan itulah seruan Paus kita terima dan kita perjuangkan. Kekerasan dan konflik harus diakhiri.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010881595
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar