Poros Maritim Global, yang dijadikan dasar kebijakan luar negeri Presiden Joko Widodo pada awal kampanye pemilu, mencoba menata ulang dan mencari perumusan memadai situasi globalisasi abad ke-21. Namun, ia belum menemukan bentuk ideal. Ini seharusnya dirumuskan oleh Kementerian Luar Negeri RI.
Geopolitik Asia dalam lima tahun ke depan akan berubah drastis dan lingkungan maritim di kawasan Asia juga akan berbeda dibandingkan dengan dasawarsa sebelumnya. Berbeda dengan Tiongkok yang memiliki konsep, strategi, dan dana mengembangkan Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21, Poros Maritim Dunia masih sebatas seruan, perbincangan seminar, instruksi, dan sejenisnya yang tak memiliki landasan konseptual maupun operasional.
Elite politik dalam lingkar kekuasaan Presiden Joko Widodo tampak hanya menjadikan gagasan Poros Maritim Dunia sebagai simbol teritorial memperkuat penegakan politik pemerintahan tanpa menyadari perubahan struktural dalam geopolitik regional secara keseluruhan maupun tendensi globalisasi membentuk pola-pola politik, ekonomi, perdagangan, sosial, budaya, dan keamanan baru.
Ironis! Ini tecermin ketika Kemlu RI tidak memiliki aksi kebijakan luar negeri membangun instrumen dengan perspektif maritim. Kemlu RI lebih menekankan persoalan orang-orang Indonesia di luar negeri atau masalah perbatasan yang sebenarnya menjadi bagian melekat dalam diplomasi Indonesia tanpa penekanan berlebihan.
Tanpa instrumen dalam kebijakan luar negeri, dikhawatirkan gagasan Poros Maritim Dunia kandas kehabisan tenaga, terkuras urusan nonsubstansial menghadapi dinamika perubahan yang mudah diombang-ambingkan kepentingan negara besar. Ini yang terjadi pada Doktrin Natalegawa tentang kesetimbangan dinamis dan Traktat Indo-Pasifik yang tidak didukung pembentukan instrumen kebijakan luar negeri pada era pemerintahan sebelumnya.
Menggelar infrastruktur
Tiongkok muncul dengan gagasan Jalan Sutra Maritim, yang pertama kali disampaikan Presiden Xi Jinping di Jakarta, di depan sidang DPR pada 2 Oktober 2013. Dia juga mengumumkan pendanaan Tiongkok membangun infrastruktur Asia melalui Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Saat itu kerja sama bilateral, regional, dan multilateral di kawasan Asia memasuki babak baru.
Ada kesadaran baru di antara para pemimpin Tiongkok menjadikan maritim sebagai platform penting dalam memproyeksikan kekuatan politik, ekonomi, dan militer ke luar dari lingkaran geografisnya. Tiongkok memanfaatkan berbagai infrastruktur strategis di kawasan untuk menggelar kekuatan dana devisa yang masif bekerja tidak hanya bagi kepentingan kekuatan perangkat keras negara, tetapi juga perangkat lunaknya.
Adalah gejala umum ketika giat berdagang ke dunia luar, sebuah negara menyebarkan pembangunan ekonomi dan kepentingan strategis yang rumit ke tempat-tempat yang jauh dan luas. Ini dilakukan Tiongkok meski terjadi perubahan drastis struktur perekonomian yang melemah dibandingkan dengan rata-rata tiga dekade sebelumnya.
Seperti negara-negara adikuasa, Amerika Serikat dan Inggris seabad lalu, ketika Tiongkok selesai dengan konsolidasi geografi domestik, mereka memperluas jangkauan ke luar menggunakan maritim sebagai landasan berpijak, membangun titik-titik acu di berbagai kawasan Asia, Afrika, dan Eropa.
Tujuan Tiongkok berbeda dengan negara adikuasa yang tumbuh di Barat, yang bersandarkan pada pendekatan misionaris dalam bersinggungan dengan masalah dunia menyebar ideologi dan sistem pemerintahan sebagai cerminan kemajuan moral. Dominasi Tiongkok dalam masalah internasional adalah demi kepentingan keamanan energi, pangan, dan memburu sumber daya alam bagi kepentingan standar hidup rakyatnya yang gigantik.
Gagasan Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 dibangun dengan tujuan ini. Infrastruktur maritim dibangun dengan dana Tiongkok, disebar melalui mekanisme hegemoni bentuk baru berkarakteristik Tiongkok, juga untuk bersaing secara ketat dengan negara-negara besar seperti AS, Jepang, dan India. Dan modernisasi negara-negara Asia, di luar Jepang dan Korea Selatan, harus menghadapi kenyataan baru akan adanya standardisasi mengikuti kemauan investasi infrastruktur melalui pembentukan AIIB ini.
Warisan maritim
Dari awal, kebijakan luar negeri Indonesia, politik bebas-aktif, seperti dicanangkan proklamator Mohammad Hatta berorientasi pada laut seperti ungkapannya "mendayung di antara dua karang". Maritim dan kelautan adalah warisan yang tidak bisa dihindari para penguasa mana pun di Indonesia. Celakanya, generasi berikutnya, pasca reformasi, berada di tingkat kegagalan mengartikulasikan kebebasan dan keaktifan kebijakan luar negeri berlandaskan maritim dan kelautan ini. Gagasan Presiden Joko Widodo tentang Poros Maritim Dunia diejawantahkan secara menggebu atas penangkapan ikan secara liar oleh kapal-kapal asing yang sudah beberapa dekade menjadikan wilayah lautan Wawasan Nusantara sebagai sumber utama kepentingan keamanan pangan asing.
Ada kekhawatiran, ketika indikator awal kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo melakukan pembakaran dan pengeboman kapal-kapal berbendera asing berdasarkan "tebang pilih" seperti yang mulai dicurigai oleh beberapa negara tetangga, wibawa Poros Maritim Dunia akan merosot. Hal ini berdampak bahwa pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara memudar dalam sekejap.
Itu sebabnya diharapkan ada cetak biru kebijakan Poros Maritim Dunia yang dilakukan Kemlu untuk menata proyeksi kebijakan luar negeri yang andal menghadapi perubahan regional menyongsong Masyarakat ASEAN 2015. Juga untuk menata peningkatan lingkup pengaruh negara besar di wilayah Indonesia seperti Tiongkok dan AS.
Strategi Poros Maritim Dunia harus bisa dirumuskan dalam sebuah proyeksi kekuatan menyangkut ekonomi maritim, politik maritim, manajemen maritim, hukum maritim, ilmu pengetahuan dan teknologi maritim, keamanan maritim, serta sosial dan budaya maritim, maupun sistem strategis terkait lainnya. Strategi ini mendesak dibentuk agar modal kebijakan luar negeri memberikan kepastian jangka panjang merumuskan kepentingan Indonesia di dunia internasional.
Mungkin benar apa yang pernah ditulis oleh ahli geografi Inggris, Sir Halford Mackinder, dalam artikelnya, "The Geographical Pivot of History", pada tahun 1904. Dia menulis bahwa Tiongkok menjadi fenomena menarik ketika negara ini mulai memperluas kekuasaan di luar wilayah perbatasannya. Tentang Tiongkok, Mackinder menulis, "…mungkin merupakan bahaya kuning (yellow peril) terhadap kebebasan dunia ketika mereka menambahkan bagian depan wilayah maritim sebagai sumber daya wilayah kontinennya yang besar…."
Itu sebabnya, kita tak boleh gagal paham tentang arti pencanangan Jalur Sutra Maritim beserta segala instrumen yang terkandung di dalamnya. Poros Maritim Dunia perlu kekuatan sinkronisasi kebijakan yang menyeluruh untuk membentuk ketahanan nasional dan regional seperti prediksi Mackinder yang dipublikasikan jurnal Foreign Affairs edisi Juli 1943, berjudul "The Round World and the Winning of the Peace". Di sana disebutkan bahwa Tiongkok akan menuntun dunia dengan membangun peradaban baru yang "bukan Timur maupun Barat".
Fungsi strategi hukum
Kita juga harus memahami bahwa Tiongkok bukan negara tetangga Indonesia karena tidak memiliki keterkaitan dalam delimitasi persoalan maritim, khususnya menyangkut klaim Tiongkok melalui 9 atau 10 garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan. Negara tetangga Indonesia adalah Malaysia, Singapura, dan Vietnam yang perbatasan maritimnya dengan Indonesia harus diselesaikan di bagian selatan di laut tersebut.
Itu sebabnya, gagasan Poros Maritim Dunia memerlukan fungsi strategi hukum maritim, termasuk di dalam pembentukan dan perbaikan sistem hukum kelautan, agar bisa menjadi dasar penataan dan perbaikan tata maritim di tingkat domestik dan internasional. Di titik inilah betapa penting Kemlu RI menjadi bagian dari strategi maritim dan kelautan agar bisa melakukan intermediasi dan penetrasi saling melengkapi antar-kementerian.
Dengan demikian, kepentingan untuk melayani gagasan Poros Maritim Dunia bisa mencapai tujuan strategis pembangunan maritim Indonesia secara keseluruhan. Karakteristik geopolitik Asia Tenggara antara daratan dan lautan, maupun posisi silang Indonesia, menyulitkan bagi pembangunan komprehensif, termasuk menghadapi perang hegemonis melawan negara-negara besar berebut pengaruh.
Kelemahan ini yang juga harus menjadi bagian dari perspektif pemikiran Poros Maritim Dunia, termasuk strategi dan keahlian diplomasi yang tinggi. Cara berpikir ini mengharuskan kita menyinkronkan kepentingan kebijakan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri. Tidak hanya mendukung gagasan Poros Maritim Dunia, tetapi juga penataan politik dan geografi Nusantara secara komprehensif. (RENÉ L PATTIRADJAWANE)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010590875
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar