Betapa tidak, dalam beberapa hari, seseorang yang terjangkit virus ebola bisa kehilangan nyawanya. Hanya dalam beberapa minggu, virus mematikan itu sudah menjangkiti ratusan orang, hingga kini menjadi belasan ribu orang dengan hampir 6.900 orang tewas dalam 10 bulan sejak Maret lalu. Korban tewas terbanyak terjadi dalam kurun Juni-September.
Meski penyebaran virus ebola masih terpusat di tiga negara di Afrika Barat, yakni Guinea, Sierra Leone, dan Liberia, ketakutan merebak luas ke banyak negara. Terutama setelah orang-orang terjangkit di tiga negara itu melakukan perjalanan ke negara lain dan mereka menjangkiti warga di negara tujuan. Itu sebabnya, kasus ebola menjalar ke Nigeria, Mali, Senegal, Jerman, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Virus tersebut menyebar dengan cepat, menyerang siapa saja, termasuk para petugas kesehatan, seperti paramedis dan dokter, yang justru menjadi garda terdepan dalam penanganan ebola. Siapa lagi yang bisa diandalkan jika petugas medis yang telah mengenakan kostum pelindung khusus ebola saja terjangkit, bahkan juga berujung maut?
Selain itu, ketakutan meluas juga karena belum ada vaksin atau serum yang ampuh menghentikan laju penularan virus dari manusia ke manusia. Teknologi farmasi baru terbatas pada menghasilkan vaksin untuk bisa mencegah penyebaran virus ebola pada binatang (kera) yang menjadi asal-muasal penyakit itu ketika pertama kali ditemukan sekaligus di dua tempat pada 1976, yakni di Nzara, Zaire (kini bagian dari Sudan Selatan), dan Yambuku, Republik Demokratik Kongo.
Hingga dua bulan pertama 2014, kemunculan virus ebola tidak mencemaskan. Namun, virus ebola mulai mewabah sejak ditemukan kasus pertama di Guinea pada Maret lalu. Virus menyebar cepat karena dibawa para pelintas jalur darat dari Guinea ke Sierra Leone dan Liberia, satu kasus penyebaran lewat udara ke Nigeria, dan satu kasus lewat darat ke Senegal.
Pada saat tulisan ini diturunkan, lebih dari 18.100 orang terinfeksi virus ebola dengan hampir 6.900 kasus kematian dan 99 persen di antaranya terjadi di tiga negara di Afrika Barat itu. Separuh kematian, yakni sekitar 3.000 kasus, terjadi di Liberia. Tiga negara bertetangga di Afrika Barat itu menjadi pusat penyebaran virus ebola.
Mengubah segalanya
Virus paling ganas itu telah mengubah segalanya di wilayah Afrika Barat. Ketakutan dan kecemasan sangat kental. Warga lokal justru mencurigai petugas kesehatan dan pegiat kemanusiaan sebagai penyebar penyakit.
Lalu lintas atau pergerakan orang dibatasi dan daerah berisiko tinggi dikarantina. Sekolah dan kantor ditutup, klinik kesehatan lumpuh, kegiatan ekonomi tidak berjalan, termasuk para pedagang sayur, buah, dan bahan pangan guling tikar.
Apa yang dapat dipetik umat manusia dari wabah ebola ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita melihat bagaimana virus itu muncul, lalu menyebar, dan kemudian begitu cepat mematikan ribuan orang, hingga sejumlah negara di belahan lain pun berusaha mengantisipasi agar virus tidak sampai masuk.
Penyakit virus ebola (EVD), sebelumnya dikenal sebagai demam berdarah ebola (EHF), adalah penyakit yang parah dan sering fatal pada manusia. Gejala yang paling menonjol bahwa seseorang terjangkit EVD adalah demam tinggi, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan sakit kepala. Biasanya diikuti dengan mual, muntah, diare, serta menurunnya fungsi hati dan ginjal, hingga pendarahan akut.
Menurut situs Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rata-rata angka kasus kematian EVD sekitar 50 persen. Angka kasus kematian bervariasi dari 25 persen hingga 90 persen pada wabah virus ebola pada masa lalu.
Wabah EVD pertama terjadi di desa-desa terpencil di dekat kawasan hutan hujan tropis di Afrika Tengah. Namun, wabah terbaru, yang paling dahsyat, kompleks, dan paling memusingkan umat manusia adalah yang terjadi di Afrika Barat. Virus tidak saja menggerogoti warga di daerah pedesaan terpencil, tetapi juga hingga ke masyarakat perkotaan modern.
Virus yang semula menular dari binatang ke manusia bergeser menular dari manusia ke manusia. Di sinilah letak persoalannya: hingga sejauh ini para pakar ilmu sains kesehatan atau teknologi farmasi belum menemukan vaksin atau serum penangkal ebola.
Negara-negara yang terparah dilanda EVD di Afrika Barat itu juga memiliki sistem kesehatan yang amat tidak memadai, minim sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung. Liberia, Sierra Leone, dan Guinea juga baru keluar dari periode panjang konflik serta ketidakstabilan politik dan keamanan.
Meski Spanyol dan AS sempat panik karena terjangkitnya sejumlah warga mereka oleh EVD, mereka juga dapat mengatasi dengan baik. Hal itu karena sistem dan infrastruktur kesehatan yang dimiliki lebih modern dengan sumber daya manusia yang lebih unggul dibandingkan Afrika.
Ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari Nigeria dan Senegal. Nigeria, misalnya, sempat diguncang oleh wabah virus yang paling mematikan itu. Meski dengan situasi politik dan keamanan yang rapuh karena gangguan kelompok separatis dan radikal Boko Haram, negara ini ternyata mampu mencegah laju penyebaran ebola sehingga akhirnya dinyatakan bebas dari EVD. Nigeria, negara terpadat penduduknya di Afrika, mendapat pujian WHO karena bertindak cepat setelah seorang diplomat Liberia yang terinfeksi pada Juli lalu. Pada 20 Oktober, badan kesehatan PBB itu menyatakan, Nigeria bebas ebola setelah sebelumnya, 17 Oktober, Senegal dinyatakan bebas ebola.
Dari Nigeria, Senegal, Spanyol, dan AS, kita belajar bahwa keterlibatan masyarakat adalah kunci untuk sukses dalam mengendalikan wabah. Pengendalian wabah yang baik bergantung pada penerapan paket intervensi, yaitu manajemen kasus, pengawasan, pelacakan kontak, layanan laboratorium yang prima, penguburan yang aman, dan mobilisasi sosial. Perawatan suportif dini dengan rehidrasi dan perawatan simtomatis meningkatkan kelangsungan hidup. Tanpa itu, virus ebola nyaris tidak terkendali. (PASCAL S BIN SAJU)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010590886
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar