Pengujung Oktober, segera setelah dilantik, Imam Nahrawi mengutarakan tugas utamanya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, perintah dari Presiden Joko Widodo. Tugas itu, pertama, adalah tuan rumah Indonesia harus sukses menyelenggarakan Asian Games 2018. Kedua, mendamaikan konflik antar-petinggi badan tertinggi olahraga prestasi, Komite Olahraga Nasional Indonesia dan Komite Olimpiade Indonesia.
Bicara tentang sukses penyelenggaraan, tengoklah pengalaman tiga tahun silam. Indonesia tuan rumah SEA Games 2011. Saat itu Indonesia menjadi juara umum. Nyaris tidak ada protes dari peserta lain. Penonton memenuhi semua gelanggang di setiap pertandingan. Penyelenggara puas, penonton puas, prestasi diraih. Sukses.
Sukses itu menggetarkan seluruh bangsa Indonesia dalam hitungan hari. Setelah itu, kita kembali tersadarkan, kita tetaplah bangsa yang terpuruk.
Para atlet kembali ke berbagai persoalannya: peralatan latihan usang atau yang rusak tidak terganti, mau bertanding tak punya uang. Belum keresahan bagi mereka yang sudah "lanjut usia". Mau ke mana setelah prestasi? Kita sadari, pendidikan formal sebagian atlet prestasi kita tidaklah tinggi.
Dari segi organisasi, olahraga tetap saja karut-marut. Pertanggungjawaban keuangan molor tak karuan. Ini masih ada contohnya belakangan: soal pembelian alat tanding kontingen Asian Games, Oktober lalu.
Pemenang lelang mundur saat pesta olahraga itu hampir berakhir. Padahal, para pengurus induk organisasi olahraga keburu membeli peralatan. Mereka minta uang diganti. Terdesak, pejabat perusahaan pemenang lelang memberikan sinyal, merasa dijebak. Lalu, senyap.
Menpora saat itu, Roy Suryo, murka. Dia memerintahkan jajarannya menyelidiki kasus itu tuntas. "Harus dibuka semuanya. Kalau perlu, lapor polisi untuk menyelidiki," kata Roy kepada Kompas.
Jadi, Pak Nahrawi, sukses penyelenggaraan Asian Games 2018 itu relatif mudah. Namun, apa gunanya jika kisah 2011 hingga 2014 berulang.
Kisah seperti itu tidak akan pernah menjadikan olahraga sebagai agen perubahan. Padahal, olahraga masyarakat (terutama pendidikan jasmani) terbukti merupakan jalan ampuh dalam membentuk mental. Amerika Serikat serta negara-negara Eropa dan Asia Timur sudah lama membuktikannya.
Di kita, sekolah dan olahraga adalah dua kutub yang berseberangan, tak pernah seiring sejalan. Semua anak dan remaja yang menemukan dirinya berpotensi dalam olahraga harus memilih: sekolah atau olahraga. Konsep ideal bahwa perkembangan anak haruslah seimbang antara kognisi, kebugaran jasmani, dan seni tak pernah ada di sini.
Sementara itu, dunia olahraga prestasi kita tidak pernah terlindungi predikatnya sebagai role model atas segala kebaikan. Yang terjadi, sektor itu penuh dengan potensi penyelewengan dana, uang atlet yang disunat, potensi perpindahan atlet antardaerah lain yang dijadikan "proyek" oleh oknum birokrat pemerintah dan birokrat olahraga.
Jadi, akankah pemerintah yang sekarang mau menggunakan olahraga sebagai alat untuk merevolusi mental, seperti yang diimpikan Bung Karno dulu? Atau, lagi-lagi yang terdengar lagu lama yang itu-itu saja. (YNS)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010826006
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar