Saat membentuk Kabinet Kerja, Presiden Joko Widodo pernah meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melihat rekam jejak calon menteri dalam kasus korupsi. Pola serupa kini diteruskan oleh Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi yang juga meminta PPATK dan KPK menelusuri rekam jejak dan transaksi ke-15 calon hakim konstitusi. Di antara calon yang didaftarkan sejumlah tokoh adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva.
Kebijakan baru ini patut didukung. Namun, belajar dari kasus seleksi menteri, perlu ada mekanisme dan prosedur yang disepakati bersama antara Panitia Seleksi, KPK, dan PPATK terhadap hasil penelusuran tersebut. Sejauh mana transparansi dan akuntabilitas dari hasil penelusuran tersebut? Hal itu penting karena persepsi publik terhadap seseorang dengan hasil penelusuran PPATK dan KPK bisa saja berbeda.
Seleksi calon hakim konstitusi melalui PPATK dan KPK menemukan urgensinya setelah MK diterpa skandal yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar. Akil divonis seumur hidup karena dinyatakan terbukti menerima dan meminta uang dengan menyalahgunakan kekuasaannya. Skandal MK telah meruntuhkan kredibilitas lembaga tersebut. Mereka yang akan diusulkan Presiden Joko Widodo untuk menjadi hakim konstitusi harus betul-betul sosok yang bersih dari isu korupsi, tidak punya indikasi melakukan transaksi mencurigakan, dan betul-betul seorang negarawan yang mempunyai pemahaman soal konstitusi.
Kita mendorong kebijakan meminta masukan PPATK dan KPK diadopsi sebagai pedoman bersama guna menyeleksi pejabat publik, termasuk hakim konstitusi. Faktanya, Mahkamah Agung mengusulkan dua calon hakim konstitusi tanpa melibatkan KPK dan PPATK. Akibatnya, akan ada "kelas sosial" hakim konstitusi di MK nantinya. Meminta masukan KPK dan PPATK harus dijadikan prosedur baku untuk menyeleksi pejabat publik. Meski seleksi hakim MK berasal dari tiga lembaga berbeda, Presiden, MA, dan DPR, harus ada keseragaman soal mekanisme seleksi, khususnya soal pelibatan KPK dan PPATK.
Khusus mengenai seleksi hakim konstitusi, kita mau mengingatkan Panitia Seleksi bahwa yang sedang mereka cari adalah calon negarawan yang memahami konstitusi, bukan seorang pelamar kerja. Calon itu dicari untuk mengisi posisi Hamdan Zoelva yang masa jabatannya berakhir 7 Januari 2015 meski Hamdan sendiri terdaftar sebagai calon hakim konstitusi.
Para calon yang selalu melamar ke semua lowongan posisi lembaga negara, termasuk MK, patut dipertimbangkan motivasi utama mereka. Apakah memang betul ingin mengabdi kepada negara demi tegaknya konstitusi atau hanya sekadar mencari pekerjaan atau meningkatkan status sosial?
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010794419
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar