Pasti ada setumpuk alasan yang mendasari Jordania mengajukan draf resolusi tersebut. Paling tidak kondisi di lapangan semakin lama semakin tidak memberikan harapan akan tercipta perdamaian di Tanah Palestina. Potensi atau bahaya konflik senjata antara Israel dan Hamas—yang belum lama ini terlibat konflik bersenjata selama 50 hari—masih tetap besar. Kerusuhan yang menelan korban nyawa di Jerusalem berulang kali terjadi.
Israel juga tetap keras kepala dan tidak peduli terhadap teriakan serta tekanan berbagai pihak yang keberatan dengan perluasan daerah permukiman. Semua keberatan, kritik, kecaman, dan segala bentuk perlawanan dianggap angin lalu saja alias tidak dipedulikan.
Pada saat bersamaan gerakan mendukung perdamaian juga semakin tumbuh di Israel. Dukungan negara-negara Barat terhadap pengakhiran konflik Israel-Palestina pun semakin nyata.
Ada kecenderungan baru, negara-negara Eropa mengakui kemerdekaan Palestina. Uni Eropa tetap mempertahankan kantor perwakilannya di Ramallah. Spanyol menjadi negara pertama di Eropa Barat yang memberikan status diplomatik kepada perwakilan Palestina; lalu disusul Portugal, Austria, Perancis, Italia, dan Yunani. Swedia, misalnya, secara resmi mengakui negara Palestina.
Perkembangan-perkembangan seperti itu telah menguatkan usulan resolusi Jordania. Negara sebelah timur Israel ini mengusulkan perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina dalam tempo setahun dan penghentian pendudukan Israel di wilayah Palestina akhir tahun 2017, serta mengusulkan Jerusalem sebagai ibu kota bersama kedua negara.
Draf resolusi yang diajukan Jordania itu membutuhkan dukungan dari 15 negara anggota Dewan Keamanan, termasuk lima anggota tetap: Rusia, Perancis, Inggris, Tiongkok, dan AS. Dua negara besar—Rusia dan Tiongkok, kemungkinan ditambah Perancis—akan mendukung draf itu. AS, seperti biasanya, apabila ada usulan resolusi yang dinilai merugikan Israel, akan menjatuhkan veto, sementara Inggris akan melihat keadaan.
Bagaimana kesepuluh anggota tidak tetap lainnya? Lima negara akan habis masa keanggotaannya pada akhir tahun ini: Argentina, Australia, Luksemburg, Korsel, dan Rwanda. Adapun lima lainnya keanggotaannya baru habis akhir tahun 2015: Chad, Cile, Jordania, Lituania, dan Nigeria.
Kalau pada akhirnya usulan draf resolusi Jordania itu lolos, ini sebuah sejarah baru. Namun, itu tidak mudah. Di sini, kiranya Indonesia bisa ikut berperan mendesak DK PBB meloloskan draf itu dengan mengajak negara-negara antara lain ASEAN dan OKI untuk bersuara.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010793949
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar