Pemerintah mengganti direksi Pertamina, Jumat (28/11), seraya merampingkan jumlah direksi badan usaha milik negara bidang minyak dan gas bumi itu. Langkah awal ini bertepatan dengan sorotan tajam terhadap BUMN tersebut dan menguatnya isu mafia migas di lembaga pengelolaan migas nasional.
Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang bergerak dalam produksi hingga distribusi minyak menjadi sorotan karena dianggap belum transparan dan akuntabel. Isu ini semakin menguat di tengah merosotnya produksi minyak bumi nasional, sementara konsumsi meningkat tajam. Akibatnya, impor tidak terhindarkan.
UUD 1945 mewajibkan pemerintah melaksanakan amanat UUD 1945 bahwa semua kekayaan bumi Indonesia harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah tidak boleh melepaskan harga energi untuk rakyat banyak pada mekanisme pasar.
Sorotan terhadap kebocoran dalam pengelolaan kekayaan negara berupa minyak dan gas bumi sudah terjadi bertahun-tahun. Terungkapnya kasus suap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Rudi Rubiandini mengonfirmasi adanya kebocoran itu. Petral, anak perusahaan Pertamina, juga diduga menjadi sarana mafia migas mengatur impor minyak sehingga Pertamina dan rakyat terbebani ekonomi rente sekelompok orang.
Presiden Joko Widodo telah memotong subsidi bahan bakar minyak yang menyebabkan harga eceran BBM bersubsidi naik Rp 2.000 per liter. Meskipun pengurangan subsidi harus dilakukan karena penerima subsidi bukan kelompok masyarakat miskin, tetap ada pertanyaan menggantung yang belum dijawab soal biaya produksi BBM.
Pertamina selalu menyebutkan harga keekonomian BBM, tetapi bagaimana pembentukan harga keekonomian tersebut belum transparan. Sebelumnya pemerintah membentuk Komite Reformasi Tata Kelola Migas. Masyarakat berharap komite dapat ikut mendorong transparansi tata kelola Pertamina dan memastikan akuntabilitasnya.
Tantangan lain bagi Pertamina adalah merosotnya harga minyak dunia. Bukan hanya dari sisi ekspor dan impor, melainkan juga eksplorasi ladang baru dan peningkatan produksi dalam negeri. Jangan sampai turunnya harga minyak bumi mengendurkan upaya menaikkan produksi minyak nasional dan melahirkan sikap pragmatis dengan mengimpor karena harga sedang turun.
Indonesia tidak boleh membuat kesalahan sama dengan berpikir secara ekonomi dagang dalam mengelola negara. Energi dan pangan sama-sama barang langka dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ketahanan dalam negeri sangat penting yang sangat dapat diupayakan melalui teknologi dan inovasi dari hulu hingga hilir. Tidak ada alasan Indonesia tidak dapat memiliki ketahanan energi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010403524
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar