Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 Desember 2014

TAJUK RENCANA: UN Bukan Syarat Kelulusan (Kompas)

DENGAN berlakunya "dua sistem" kurikulum pada semester kedua tahun ajaran 2014/2015, perlu kebijakan menyangkut ujian nasional.
Persoalan tidak terkait dengan perlu dan tidaknya UN, dihapus dan tidaknya, tetapi bagaimana tetap terjaga maksud baik penyelenggaraan Kurikulum 2013 untuk 6.221 sekolah, dan Kurikulum 2006 untuk lebih dari 200.000 sekolah. Bentuk kebijakan itu jangan sampai merugikan murid peserta Kurikulum 2013 maupun Kurikulum 2006.

Setiap kegiatan pendidikan harus dievaluasi. Idealnya, yang memberikan nilai adalah guru atau sekolah bersangkutan. Namun, ketika kenyataannya yang ideal belum bisa diwujudkan, evaluasi perlu dilakukan instansi di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ketika UN yang diselenggarakan sejak 2008 dipersoalkan dan terus dihidup-hidupkan agar dihapus, UN adalah keniscayaan. UN jalan terus dan terus diperbaiki. Mulai dari syarat kelulusan, hingga banyak sekolah ibarat lembaga kursus yang hanya memberikan driling sejumlah mata pelajaran UN, sampai pada dampak psikologis trauma peserta. Begitu tidak lulus UN, sia-sia perjalanan setahun.

Pemerintah lalu membuat UN tidak menjadi syarat satu-satunya untuk lulus. Hasil rapor atau ujian sekolah dijadikan pertimbangan. Alokasinya hasil UN dan hasil ujian sekolah/rapor 70:30. Ini pun belum menyurutkan protes penghapusan UN. Usaha penghapusan UN terus terjadi, terutama menjelang tutup tahun ajaran. Tahun ini ada "mainan baru" penghentian Kurikulum 2013.

Dengan "dua sistem" kurikulum saat ini, dalam proses perbaikan ideal sebuah evaluasi, kita dukung usulan Badan Standar Nasional Pendidikan. Syarat yang diajukan kejujuran, menyangkut kebenaran data hasil nilai yang diberikan sekolah maupun dinas tiap provinsi. Agar adil bagi peserta Kurikulum 2013 maupun Kurikulum 2006, rasio kelulusan 50:50 dari UN dan sekolah, hemat kita perlu ditempuh sebagai kebijakan menyangkut UN 2014/2015. Kejujuran, puncak hasil praksis pendidikan.

Kedodoran implementasi di lapangan, seperti terjadi setiap tahun, perlu diantisipasi jauh sebelumnya. Konversi nilai bagi peserta Kurikulum 2013 kemudian diganti ke Kurikulum 2006 perlu diperjelas. Guru perlu dilibatkan. Jangan anggap mereka hanya pelaksana. Tak kalah penting peran penilik sekolah, yang terkait urusan administratif maupun pendidikan.

Kita percayakan proses kerja "ngebut" Kemdikbud menyangkut pergantian kurikulum, dan jangan dilupakan pernik-pernik jangka pendek, seperti UN dalam beberapa bulan ke depan. Jangan abaikan celah-celah yang memungkinkan munculnya keinginan "lama" menghapus UN tanpa melihat kondisi riil di lapangan.

Tempatkan anak sebagai fokus tujuan, bukan kelinci percobaan. Tahan dirilah para ahli dan praktisi kritis pendidikan, setidaknya untuk saat ini. Jangan introduksi kembali keinginan menghapus UN. Fokus kita bersama: UN jalan terus dan bukan syarat kelulusan lagi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010841929
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger