Hukuman mati merupakan suatu dilema dalam penegakan hukum. Eksistensinya selalu menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, sikap negara-negara di dunia terbelah menjadi dua: ada yang tetap mempertahankan (kelompok retensionis), banyak juga yang telah menghapuskannya (kelompok abolisionis), baik untuk kejahatan tertentu maupun untuk semua kejahatan.
Belanda yang menjadi cikal bakal hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati pada 1870, kecuali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Akan tetapi, ironisnya,
Namun, setelah kemerdekaan, beberapa ketentuan hukum positif memberikan pengaturan tentang hukuman mati. Sebutlah dalam UU senjata api dan bahan peledak, UU pemberantasan kegiatan subversi maupun narkoba hingga terorisme, hukuman mati merupakan salah satu yang diancamkan terhadap delik-delik yang disebutkan di atas.
Terpidana mati yang menurut rencana hendak dieksekusi oleh kejaksaan terdiri atas dua golongan besar, yakni karena kasus narkotika dan pembunuhan berencana, di samping terorisme. Kedua jenis delik ini merupakan delik yang berdampak serius bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pembunuhan berencana merupakan ancaman terhadap eksistensi masyarakat, sementara narkotika tergolong kejahatan yang membahayakan kelangsungan negara. Tentang kejahatan narkotika, sikap kita jelas: menyatakan perang dan tidak ada ampun bagi mereka yang melanggar.
Pengajuan peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali merupakan praktik penegakan hukum. Rambu-rambu di KUHAP telah tegas menyatakan upaya hukum itu hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan itu dimaksudkan agar putusan hakim yang telah final tidak mentah kembali, nasib terpidana tak terombang-ambing karena menunggu begitu lama eksekusi hukuman, begitu juga korban akan mendapat keadilan karena pelaku telah dihukum.
Permohonan PK lebih dari sekali disebabkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji materi yang dilakukan Antasari Azhar. Namun, ada yang menuding putusan MK No 34/PUU-XI/2013 itu merupakan biang keladi ketidakpastian hukum saat ini.
Padahal, kalau kita mau jujur dan sedikit jernih berpikir, dikabulkannya permohonan Antasari disebabkan ada beberapa alat bukti yang tak dipertimbangkan secara maksimal. Apabila alat bukti dimaksud diperiksa, putusan yang dijatuhkan akan jadi lain. Untuk maksud itulah
Berbeda dalam kejahatan narkotika, apabila unsur obyektif dan subyektif tindak pidana telah terpenuhi dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa, putusan dapat segera dijatuhkan. Celah untuk mendapatkan novum menjadi semakin sempit. Kecuali kalau terjadi
Apabila sebaliknya, PK merupakan taktik terpidana untuk mengulur-ulur eksekusi hukuman sekaligus petunjuk bahwa yang bersangkutan tidak mengindahkan hukum. Dalam keadaan demikian itu, kewibawaan negara menjadi taruhannya. Mengidentikkan PK dalam kasus Antasari dengan kasus narkotika yang telah
Dibatasi atau tidak pengajuan PK tidak prinsipiil, karena yang perlu dihadirkan adalah keadilan dalam proses hukum tersebut. Apabila cara mengadili telah dilaksanakan,
Apabila
Kalau hakim di Inggris dengan lantang menyatakan Anda dihukum bukan karena mencuri domba, melainkan agar domba lain tidak dicuri, maka hal yang sama juga dapat dikatakan: Anda dihukum bukan karena mengedarkan narkoba, melainkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat narkoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar