Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) selama dua dasawarsa terakhir selalu menjadi rebutan sejumlah kubu. Selama itu pula masyarakat Indonesia dipertontonkan drama konflik internal dan saling sikut. Alih-alih memikirkan perkembangan sepak bola Indonesia, justru adu kepentingan antarkelompok yang ditonjolkan.
Indonesia pernah menjadi macan sepak bola Asia. Namun, itu dulu sekali. Sekarang, jangankan bersaing di Asia, menjadi yang terdepan di Asia Tenggara saja hampir mustahil. Di Piala Federasi Sepak Bola Asia Tenggara 2014, Indonesia bahkan tidak lolos dari fase grup. Di sini, Filipina meraih kemenangan pertamanya atas tim nasional sepak bola Indonesia.
Pada 1998, Indonesia pernah menduduki peringkat ke-76 ranking FIFA. Itu peringkat terbaik Indonesia sepanjang zaman. Berdasarkan daftar peringkat FIFA per April 2015, Indonesia berada di peringkat ke-159, berada di bawah Timor Leste di peringkat 152. Sungguh memalukan. Kini, sepak bola Indonesia miskin prestasi dan hanya kaya konflik.
Belum hilang dari ingatan ketika pada 2011 Andi Mallarangeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) saat itu membekukan PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Keputusan pemerintah kala itu diambil untuk menyikapi kemelut di tubuh PSSI yang tidak memberikan tanda berakhir.
Nurdin Halid berhasil dilengserkan dari kursi kepemimpinan PSSI, tetapi masalah internal PSSI tak serta-merta usai. Setelahnya, tak hanya internal PSSI yang terpecah. Kompetisi pun terbagi dua menjadi Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL).
Perpecahan kompetisi ini mendorong terjadinya "pengkloningan" klub peserta liga. Banyak klub mengalami dualisme kepemilikan, termasuk Arema Cronus dan Persebaya Surabaya. Penyelesaian masalah dualisme yang tidak tuntas di masa lalu itu menjadi masalah baru di era Imam Nahrawi sebagai Menpora yang bermaksud mereformasi persepakbolaan Indonesia.
Berawal dari Tim Sembilan
Kisruh bermula ketika pada awal Januari 2015 Menpora Imam Nahrawi membentuk Tim Sembilan dari kelompok profesional untuk membenahi persepakbolaan nasional. Pembentukan Tim Sembilan dilatarbelakangi oleh semakin meredupnya prestasi sepak bola Indonesia di kancah regional. Selain itu, persepakbolaan Tanah Air masih belum sepenuhnya terlepas dari kasus rekayasa hasil pertandingan (
Tim Sembilan bertugas mendengarkan semua pihak terkait, mengumpulkan dan menganalisis permasalahan sepak bola nasional, kemudian memberikan rekomendasi kepada Kemenpora mengenai tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia.
Tim Sembilan beranggotakan Imam Prasodjo (sosiolog), Budiarto Shambazy (wartawan senior), Ricky Jacobi (mantan pesepak bola nasional), Gatot S Dewa Broto (Deputi Kemenpora), Nurhasan (akademisi), Djoko Susilo (mantan Duta Besar Swiss), Yunus Husein (mantan Kepala PPATK), Eko Tjiptadi (mantan Deputi Pencegahan KPK), dan Oegroseno (mantan Wakapolri).
PSSI bereaksi atas dibentuknya Tim Sembilan. Pada Kongres PSSI, 4 Januari 2015, banyak anggota PSSI yang hadir menyuarakan penolakan terhadap pembentukan Tim Sembilan. Tindakan Menpora dianggap sebagai intervensi negara terhadap PSSI.
PSSI mengadu kepada Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke merespons aduan itu dengan berkirim surat kepada pemerintah melalui Kemenpora. Valcke meminta Kemenpora dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak menunda penyelenggaraan ISL 2015. Valcke bahkan mengancam menjatuhkan sanksi kepada Indonesia jika Kemenpora dan BOPI terus melakukan intervensi terhadap PSSI.
Pemerintah jalan terus dengan Tim Sembilan. Pemerintah berkeras meyakinkan bahwa tujuan pembentukan Tim Sembilan sama sekali bukan untuk mengintervensi PSSI sebagaimana diharamkan dalam statuta FIFA.
Pada 27 Februari 2015, Menpora menyurati Presiden FIFA Sepp Blatter untuk menjelaskan duduk persoalan. Melalui surat itu, Menpora menyatakan, penundaan ISL justru untuk memastikan dipatuhinya regulasi FIFA terkait persyaratan klub profesional.
Selanjutnya, Menpora melalui BOPI melakukan verifikasi klub peserta ISL terkait lima aspek, yaitu manajemen, keuangan, atlet, pembinaan usia muda, dan tanggung jawab sosial. Hasilnya, hanya 30-40 persen persyaratan yang dipenuhi oleh 18 klub peserta ISL 2015.
Dari aspek legalitas, 10 klub tidak memiliki nomor pokok wajib pajak dan 13 klub tidak memiliki surat izin usaha perdagangan. Dari aspek keuangan, sembilan klub belum memenuhi laporan keuangan setahun terakhir. Selain itu, tidak ada satu pun klub yang melampirkan laporan pembayaran pajak, kontrak dengan pemilik stadion, dan surat pernyataan lunas tunggakan gaji.
Dari aspek atlet, 17 klub belum memenuhi kontrak pemain lokal, 15 klub belum memenuhi kontrak pemain asing, dan tidak ada satu pun klub yang telah memenuhi kontrak pelatih asing/lokal. Selain itu, semua klub belum memenuhi persyaratan terkait aspek pembinaan usia muda dan tanggung jawab sosial.
Untuk memberikan waktu kepada klub dalam melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi, BOPI merekomendasikan agar ISL 2015 dimundurkan dari jadwal
Pertemuan PSSI, PT Liga Indonesia, dan wakil 18 klub dengan Kemenpora dan BOPI menghasilkan keputusan,
Menjelang rencana
Di luar dugaan, PSSI tetap menggulirkan ISL dengan mengikutsertakan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya. PSSI berdalih, sesuai keputusan Kongres PSSI dan laporan kepada FIFA, kompetisi ISL diikuti 18 klub. Ketidakikutsertaan satu saja dari 18 klub itu akan menyebabkan PSSI dinilai melanggar statuta FIFA dan PSSI. Ini akan berimbas pada sanksi FIFA terhadap PSSI.
Menpora memberikan surat peringatan kepada PSSI atas keikutsertaan dua klub yang bermasalah. Pembekuan PSSI menjadi jalan terakhir Menpora setelah tiga surat peringatan diabaikan PSSI. Melalui Surat Keputusan Nomor 01307 Tahun 2015 bertanggal 17 April 2015, pemerintah memutuskan tidak mengakui semua kegiatan dan keputusan PSSI, termasuk hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, 18 April 2015, yang memilih kepengurusan PSSI periode 2015-2019. Dalam KLB, La Nyalla Mahmud Mattalitti terpilih menjadi Ketua Umum PSSI.
Kisruh Kemenpora-PSSI sepertinya akan tetap berlanjut meski PSSI telah dibekukan. PSSI akan terus mengatasnamakan FIFA dan memberikan momok sanksi yang akan merugikan Indonesia karena tidak bisa berkiprah dalam kancah regional atau internasional. PSSI pasti terus melawan.
Pemerintah tak seharusnya takut dengan ancaman-ancaman PSSI-FIFA. Kemenpora telah berada di jalur yang seharusnya. Arema Cronus dan Persebaya tidak bisa ditoleransi untuk mengikuti kompetisi selama tidak memenuhi syarat sebagai klub profesional. Aturan tetap harus ditegakkan.
Jika memang sanksi FIFA itu benar-benar jatuh, hal itu seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin berhadapan. Pasti ada efek positif dan negatif dari setiap keputusan yang diambil.
Di satu sisi, memang Indonesia akan mengalami kerugian besar karena "dikucilkan" dari pergaulan sepak bola dunia. Namun, di sisi lain, Indonesia dapat mengambil manfaat untuk menyusun kembali program sepak bola nasional dari titik nol yang terbebas dari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar