Hasil survei longitudinal yang dirilis harian ini menunjukkan citra positif Presiden Jokowi turun. Jika pada tiga bulan pertama citra positif Presiden Jokowi masih berada pada angka 80,6 persen, kini merosot pada angka 61,4 persen. Jika dilihat lebih detail, ketidakpuasan paling besar terjadi pada sektor ekonomi dan sektor hukum.
Merosotnya citra dan kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi sebenarnya juga disebabkan oleh ekspektasi publik yang begitu tinggi terhadap Presiden Jokowi. Mayoritas pemilih terpesona dengan retorika seperti Revolusi Mental, Poros Maritim, dan Nawacita. Publik tertarik pada sosok Presiden Jokowi yang tampil seadanya dan memperlihatkan kesan jujur, bersih, populis, dan dekat dengan rakyat kecil.
Namun, dalam enam bulan pertama pemerintahannya mulai muncul pertanyaan soal tata laksana pemerintahan. Bagaimana Presiden Jokowi mengeksekusi berbagai program pembangunan yang hendak dijalankannya dan bagaimana Presiden menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan. Namun, publik pun mencatat bagaimana Presiden Jokowi menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dalam percaturan bangsa lain. Presiden Jokowi kokoh menghadapi tekanan luar negeri dalam kasus hukuman mati misalnya.
Konsolidasi politik yang lambat memang memengaruhi gerak Presiden Jokowi dalam mengimplementasikan rencana pembangunannya. Kita merasakan ada masalah dalam konsolidasi politik Presiden Jokowi dengan partai pendukungnya. Kita dorong Presiden Jokowi segera merampungkan konsolidasi politik agar bangsa ini bisa segera bergerak bersama. Ungkapan loyalitas kepada partai berakhir saat loyalitas kepada negara dimulai seharusnya menjadi pegangan.
Situasi eksternal tidak mudah. Ada gejala pelambatan ekonomi dunia. Di dalam negeri konsolidasi politik dan restrukturisasi kementerian belum beres, sementara Presiden Jokowi masih dihadapkan pada kemampuan komunikasi politik yang lemah. Banyak hal yang sebenarnya harus dikomunikasikan, tetapi tidak dikomunikasikan. Namun, sesuatu yang tidak substansial justru disampaikan kepada publik. Ini hanya menimbulkan kegaduhan. Strategi komunikasi adalah sesuatu yang lemah dalam pemerintahan Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi diharapkan lebih aktif menggerakkan kekuatan yang ada padanya. Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Presiden Jokowi bisa memberikan peran kepada pembantunya, termasuk Wapres Jusuf Kalla, dengan tugas khusus untuk merampungkan pekerjaan yang belum tuntas. Pembagian peran itu harus dimaknai agar bangsa ini bisa bergerak bersama untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Dalam peran itu Presiden Jokowi tetaplah sebagai penanggung jawab pemerintahan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Berbagai Peran Bergerak Bersama".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar