Pendapat itu disuarakan Komandan Militer Amerika Serikat untuk Asia Pasifik Laksamana Samuel Locklear di depan Kongres AS di Washington DC, Rabu (15/4). Menurut Locklear, reklamasi yang dilakukan di Kepulauan Spratly memungkinkan Tiongkok memiliki pelabuhan dan lapangan udara sepanjang 3 kilometer. Di samping itu, Tiongkok juga tengah membangun landasan udara di Kepulauan Paracel.
Persoalan utamanya adalah reklamasi itu dilakukan Tiongkok di Kepulauan Spratly, Laut Tiongkok Selatan, yang merupakan tumpang tindih klaim wilayah antara Tiongkok dan empat negara ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam) serta Taiwan. Sementara di Kepulauan Paracel, Tiongkok memiliki tumpang tindih klaim wilayah dengan Vietnam dan Taiwan.
Filipina dan Vietnam menentang reklamasi yang dilakukan Tiongkok di Kepulauan Spratly karena itu akan meningkatkan kehadiran militer Tiongkok di kawasan tersebut. Presiden AS Barack Obama, pekan lalu, menuduh Tiongkok menggunakan kekuatannya untuk menekan negara-negara tetangganya yang lebih kecil.
Peningkatan kehadiran militer Tiongkok di Kepulauan Spratly dan Paracel diikuti dengan rasa waswas karena dikhawatirkan akan memicu ketegangan di perairan Laut Tiongkok Selatan. Negara-negara yang memiliki tumpang tindih klaim wilayah dengan Tiongkok di perairan itu pasti tidak akan tinggal diam.
Bahkan, ada kekhawatiran, jika Tiongkok terus melanjutkan langkah-langkah agresifnya di Laut Tiongkok Selatan, AS akan kembali hadir di kawasan ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan, "AS memiliki kepentingan yang besar dalam menjaga perdamaian dan keamanan di Laut Tiongkok Selatan. Kami tidak percaya bahwa keinginan Tiongkok membangun fasilitas militer di perairan itu sejalan dengan perdamaian dan stabilitas kawasan."
AS, Jepang, dan Korea Selatan menegaskan pentingnya stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, dan kebebasan untuk melewati perairan itu terus dijaga, mengingat perairan itu setiap tahun dilalui kapal-kapal dagang dengan total nilai lebih dari 5 triliun dollar AS. Kebebasan untuk melewati perairan Laut Tiongkok Selatan dianggap penting untuk digarisbawahi karena Tiongkok pernah mencoba menerapkan zona penerbangan di Laut Tiongkok Timur pada 2013.
Pertanyaannya kini adalah siapa yang dapat membujuk Tiongkok untuk menghentikan agresivitas di Laut Tiongkok Selatan. Sebab, jika Tiongkok tidak menghentikan agresivitasnya, bukan tidak mungkin kekuatan besar akan kembali hadir di kawasan ini.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Kekuatan Besar Bisa Kembali ke Asia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar