Kalau Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 hanya dihadiri 29 delegasi dari Asia dan Afrika, KAA 2015 yang berlangsung 19-24 April 2015 dihadiri oleh delegasi dari 109 negara dan 41 wakil organisasi internasional serta pengamat. Melihat persiapan perhelatan raya ini, ada yang mempertanyakan apakah "Semangat Bandung" dan solidaritas bangsa Asia dan Afrika yang efektif di zaman bipolarisme itu masih cocok dan relevan dalam konteks baru multipolarisme?
Konteks bipolarisme
Dalam periode tahun 1950-an, dunia berada di dalam sistem yang berkubu pada dua kutub, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles telah menarik garis yang tegas dan memberikan alternatif terbatas pada negara-negara yang baru merdeka; apakah negara Anda bersama AS atau menjadi lawannya. Konstelasi politik semacam ini sangat membatasi ruang gerak negara-negara Asia dan Afrika.
Oleh karena itu, kata-kata "kemiskinan" dan "keterhinaan" berkumandang di Gedung Merdeka Bandung 1955 sebagai identitas bersama. Timbul rasa kebersamaan yang kohesif tecermin dalam "Semangat Bandung" melawan campur tangan asing dan menghentikan kesewenang-wenangan negara besar terhadap negara kecil atau lemah.
Menghadapi tantangan tersebut, dirumuskan Dasasila Bandung yang menghimpun aspirasi yang muncul dari kegalauan yang dirasakan di Asia dan Afrika. Secara cerdas telah disusun prinsip-prinsip yang bagaikan zamrud dalam untaian konsep yang jitu. Mulai dari penghormatan pada kedaulatan negara dan integritas wilayah, persamaan semua negara besar dan kecil, non-intervensi, tidak campur tangan dalam urusan internal negara lain, penyelesaian sengketa secara damai, penghormatan pada hak asasi manusia (HAM) fundamental, mendorong kerja sama dan kepentingan bersama, hingga penghormatan pada keadilan dan kewajiban internasional.
Ini kemudian diakui sebagai benih-benih multilateralisme yang mendorong lahirnya Gerakan Non-Blok dan menjadi pola pegangan PBB dalam mendorong terjadinya konsensus.
Tokoh-tokoh karismatik, seperti Soekarno, Nehru, Gamal Abdel Nasser, U Nu, dan Chou En Lai, berpengaruh besar dalam mendorong kesepakatan dan tidak saja berbicara di ruang sidang di Gedung Merdeka, tetapi juga berpidato dalam rapat raksasa di alun-alun terbuka yang dihadiri oleh publik secara luas. Semangat Bandung menggelora bukan hanya di kalangan elite, melainkan juga di kalangan massa.
Program mengatasi kemiskinan dalam rangka kerja sama Selatan-Selatan juga berhasil disusun oleh Komite Ekonomi. Pada pokoknya solidaritas Asia-Afrika diarahkan untuk mendorong kemajuan ekonomi melalui kerja sama teknik, pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas dan memajukan kualitas sumber daya manusia.
NAASP
Berbeda dengan kesepakatan yang dihasilkan Komite Politik, program-program kerja sama Asia-Afrika di bidang ekonomi dan kebudayaan miskin pelaksanaan sehingga gaungnya meredup. Dalam kaitan ini, KTT memperingati KAA yang ke-50 pada 2005 di Bandung telah menyepakati Strategi Kemitraan Baru Asia-Afrika atau New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) sebagai wahana untuk menghidupkan kembali semangat kerja sama di bidang ekonomi.
Hal ini ditopang fakta bahwa ekonomi Afrika mulai menggeliat dan negara-negara Asia masih menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia.
Meskipun memiliki banyak tantangan seperti memproduksi barang yang sama, kesamaan tujuan ekspor, serta belum adanya jaringan sistem pembiayaan dan keuangan, kerja sama Selatan-Selatan antar- Asia-Afrika telah mengembang ke luar batas kerja sama teknik. Nilai kerja sama teknik antardua benua ini menurut estimasi PBB antara 16 miliar dollar AS dan 19 miliar dollar AS.
Arus modal yang melintas wilayah batas negara telah meningkat secara signifikan. Sime Darby dari Malaysia telah menanamkan modal sekitar 600 juta dollar AS untuk mengembangkan kebun kelapa sawit di Afrika, ZAMBEEF dari Zambia telah menanam modal untuk mengembangkan peternakan di negara-negara tetangganya, dan perusahaan sabun B-29 dari Indonesia telah menanamkan modalnya di Etiopia.
Dalam kaitan ini, Indonesia sebagai tuan rumah akan menyelenggarakan Pertemuan Bisnis Asia Afrika (AABS) 21-22 April di Jakarta untuk mempertemukan CEO dari 47 negara Asia dan Afrika dengan CEO Indonesia. Diharapkan mereka dapat mendiskusikan peningkatan kerja sama bisnis, perdagangan, dan investasi. Untuk ini telah dirancang empat agenda meliputi infrastruktur, perdagangan, agribisnis, dan kemaritiman.
Gagasan kompetitif
Adalah suatu tantangan bagi Indonesia, bagaimana mengusahakan agar hasil KTT Asia Afrika 2015 dapat menghasilkan nilai tambah pada gagasan lain yang sedang dalam proses pengembangannya, misalnya ASEAN akan melahirkan Komunitas ASEAN pada akhir 2015, Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) akan disepakati dalam waktu segera, demikian juga formula pengganti Protokol Kyoto yang akan disepakati di Paris akhir tahun ini, serta Kemitraan Ekonomi Baru untuk Pembangunan Afrika (NEPAD) yang didukung Jepang. Salah satu yang dipersiapkan sebagai hasil KTT Asia Afrika 2015 adalah peningkatan NAASP yang akan mendorong kemakmuran Afrika. Hendaknya program dan rencana kegiatannya saling memperkuat dengan NEPAD dan program lain yang sejenis dan dihindarkan adanya pengulangan atau tumpang tindih satu sama lain yang dapat menyebabkan pemborosan.
Di bidang politik, KTT Asia Afrika 2015 akan menghasilkan dokumen mengenai Palestina yang saat ini sedang mengalami krisis. Serangan Israel pada Juli 2014 telah menghancurluluhkan Gaza, sedangkan proses rekonstruksi berjalan tersendat-sendat sehingga banyak anak-anak yang meninggal karena hipotermia. Di samping itu, masalah tersedianya air, listrik, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan masalah penahanan anak-anak, permukiman baru di Jerusalem, penghancuran rumah karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan di Tepi Barat (West Bank), dan pemindahpaksaan suku Badui yang biasa berpindah-pindah.
Dasasila Bandung menghormati HAM fundamental dan persamaan hak semua bangsa. Majelis Umum PBB 2012 telah memberikan status baru "pengamat PBB bukan anggota" setara dengan status Vatikan di PBB dan mengakui hak bangsa Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Bisakah bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang berkumpul di Jakarta tampil kohesif untuk memberikan dorongan politik yang kuat dan solidaritas kolektif bagi perjuangan bangsa Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri?
MAKARIM WIBISONO
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Peringatan 60 Tahun KAA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar