Kerusuhan yang berujung dengan penangkapan 27 pengunjuk rasa dan melukai 15 polisi itu merupakan buntut dari tewasnya seorang warga kulit hitam, Freddie Gray (25), di tahanan polisi. Salah satu sebab yang memicu ketidakpuasan terhadap polisi yang kemudian diikuti kerusuhan itu adalah tidak adanya keterangan yang jelas tentang penyebab kematian Gray, yang ditangkap polisi pada 19 April lalu.
Pada mulanya unjuk rasa yang diikuti sekitar 1.000 orang, setelah penguburan Gray itu, berjalan damai, tetapi kemudian berubah menjadi ganas dan rusuh. Para pengunjuk rasa melempari polisi dengan botol dan batu. Mereka juga merusak sejumlah toko; membakar beragam benda di jalan. Polisi lalu memberlakukan jam malam.
Apa sesungguhnya yang terjadi di AS? Itu pertanyaan sederhananya. Kerusuhan berbau rasial seperti itu tidak hanya terjadi kali ini. Agustus tahun lalu, pecah kerusuhan rasial di Ferguson, Missouri, yang dipicu oleh tewasnya warga kulit hitam, Michael Brown, di tangan polisi.
Yang selalu terjadi, kerusuhan melibatkan polisi dan orang kulit hitam. Karena itu, banyak pendapat mengatakan bahwa kerusuhan terjadi karena polisi berlaku tidak adil terhadap orang kulit hitam. Mereka memperlakukan secara tidak manusiawi. Gray, misalnya, menurut rekaman yang diambil secara amatiran, diperlakukan secara tidak manusiawi oleh polisi. Akhir Desember lalu, polisi juga tertangkap kamera bertindak tidak manusiawi terhadap seorang pria kulit hitam, Jerame Raid, hingga Raid tewas.
Kita sangat paham bahwa di mana-mana tidak akan pernah ada perdamaian kalau tidak ada keadilan. Keadilan akan membangun perdamaian, dan ketidakadilan itu dengan sangat mudah kita temukan di mana-mana, termasuk di negeri kita tercinta ini.
Penegakan keadilan itulah yang diinginkan masyarakat, bukan hanya bagi warga kulit hitam, melainkan juga bagi kulit putih. Mereka menuntut polisi yang bertindak di luar batas kemanusiaan, yang menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang, yang menghalalkan segala cara dengan selalu menyatakan atas nama ketertiban dan hukum, juga ditindak. Masyarakat menuding polisi menikmati impunitas; kebal hukum.
Apa yang terjadi di AS itu juga terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam praktik sehari-hari kita menyaksikan bahwa hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat; mereka yang berkuasa. Demikian pula keadilan hanya dinikmati atau memberikan keuntungan kepada mereka yang lebih kuat.
Inilah barangkali noda hitam demokrasi AS, sebuah negara yang selalu berteriak paling keras dalam hal penegakan demokrasi. Sebab, bukankah demokrasi juga berarti keadilan bagi semua warga tanpa kecuali.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Noda Hitam Demokrasi AS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar