Tugas berat tetapi mulia ini sebagian besar dipikul oleh Sultan Hamengku Bawono X sebagai tokoh sentral, baik karena kedudukan formalnya sebagai gubernur maupun posisinya sebagai raja. Dalam mengelola pemerintahan, Sultan HB X diharapkan dapat menyinergikan antara nilai-nilai adiluhung aristokrasi dan rasionalitas publik yang menjadi basis tatanan kekuasaan yang demokratis.
Tugas dan tanggung jawab tersebut di respons dengan sangat antusias oleh Sultan HB X sebagaimana dipaparkan dalam visi, misi, dan program calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012-2017 pada Rapat Paripurna DPRD DIY, 21 september 2012. Intinya, Sultan HB X bertekad membangkitkan kembali Peradaban Unggul Yogyakarta dan Nusantara melalui Renaisans Budaya yang memuat landasan idiil-filosofis Hamemayu-Hayuning Bawono, yang secara konseptual mengatur harmoni hubungan dan tata laku antar-sesama rakyat, antara warga masyarakat dan lingkungan, serta antara insan dan Tuhan Yang Maha Pencipta dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku.
Namun, memadukan tradisi aristokrasi dan demokrasi bukan urusan yang sederhana. Kendala utama adalah mengenai konsep dan sumber kekuasaan aristokrasi yang didasarkan atas "wahyu" dan keturunan dengan konsep dan sumber kekuasaan demokrasi yang didasarkan ideologi sebagai hasil dari pemikiran yang rasional.
Oleh karena itu, agar asas demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat sejalan dengan nilai-nilai aristokrasi, Pasal 43 UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, menugaskan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, antara lain, pertama, melakukan penyempurnaan dan penyesuaian peraturan di lingkungan (
Dalam melaksanakan tugas UU itu, Sultan HB X mengeluarkan sabda sebagai
Sementara itu, perspektif publik dan sementara anggota kerabat keraton melihat dari sisi rasional. Wajar jika sabda sulit mereka pahami dan memicu kontroversi. Sebagian publik khawatir sabda tersebut justru dapat memerosotkan wibawa keraton. Namun, tidak sedikit sepaham, sabda dianggap bagian dari reformasi
Namun, yang lebih memprihatinkan beberapa adik Sultan HB X melakukan perlawanan meskipun hal itu dilakukan dengan sangat hati-hati dan santun. Mungkin mereka menganggap sabda Sultan HB X berkorelasi dengan suksesi internal keraton. Kecurigaan bertambah besar dosisnya setelah Sultan HB X mengganti nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Secara tradisional sebutan tersebut diperuntukkan bagi "Putra Mahkota". Namun, Sultan XB X menegaskan dengan pergantian nama itu belum tentu putri sulungnya akan menggantikan dirinya.
Oleh karena itu, agar kontroversi sabda mereda dan tidak menjadi bola liar serta tidak menjadi tontonan yang tidak sedap bagi publik, seyogianya reformasi
Agar reformasi
Berbekal niat mulia serta ajaran luhur para leluhur serta waspada terhadap godaan di atas, arah reformasi
J KRISTIADI, PENELITI SENIOR CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2015, di halaman 15 dengan judul "Menebak Arah Sabda Sultan HB X".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar