Nama Taufik masih di bawah bayang-bayang "orang besar" Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lain, seperti Adnan Buyung Nasution, Luhut MP Pangaribuan, Bambang Widjojanto, Hendardi, ataupun Todung Mulya Lubis. Taufik membuat "jalur" baru alumni LBH, dengan menjadi kader partai politik. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh mereka yang selama ini aktif sebagai aktivis pro demokrasi. Apalagi, partai di negeri ini termasuk lembaga yang paling korup, selain DPR serta lembaga penegak hukum lain, seperti hakim, jaksa, dan polisi.
Partai Nasdem menjadi tempat pertama karier politiknya. Taufik tak hanya menjadi kader, tetapi juga pengurus pusat dengan memimpin Badan Advokasi Hukum (Bahu) Partai Nasdem. Pada Pemilu 2014, ia menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) Jakarta I. Ia gagal masuk ke Senayan sebagai anggota DPR. Namun, kegagalannya untuk menjadi wakil rakyat tak menyurutkan dia untuk tetap menjadi aktivis politik.
Taufik menyatakan, ia tetap bertahan masuk parpol karena ingin bersama-sama memperbaiki situasi politik nasional, yang sampai saat ini masih diwarnai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dia merasa tidak cukup hanya memperbaiki kondisi dengan terus berteriak dari luar sistem politik, termasuk tetap menjadi aktivis pro demokrasi. Menurut dia, harus ada yang bergerak di dalam. Apalagi, ada sejumlah aktivis pro demokrasi, termasuk aktivis yang tidak jarang terjun ke jalan untuk meneriakkan suara rakyat, seperti Adian Napitupulu, menjadi kader parpol. Adian kini menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDIP).
Panggilan untuk bersama-sama memperbaiki kondisi politik nasional, termasuk parpol, makin kuat, karena dalam 10 tahun terakhir mereka yang terjerat kasus korupsi, khususnya yang berasal dari partai, semakin muda. Tengoklah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin. Keduanya terjerat kasus korupsi meski hingga kini masih diwarnai kontroversi, di bawah usia 40 tahun. Selain itu, ada nama Gayus H Tambunan, mantan pegawai pajak yang terjerat kasus korupsi ketika berusia 30-an tahun.
Sebelumnya, ada anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Al Amin Nur Nasution, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap dari Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, tahun 2008. Al Amin menjadi terpidana korupsi saat berusia 37 tahun. Juga ada mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Angelina P Sondakh, yang menjadi tersangka korupsi saat berusia 35 tahun. KPK menyatakan, saat ini terjadi regenerasi pelaku korupsi, semakin muda dari sisi usia. Padahal, pada masa lalu korupsi lebih banyak dilakukan oleh mereka yang berusia sekitar 50 tahun.
Melawan korupsi
Taufik, bersama sejumlah politisi muda yang baru masuk parpol, mencoba menawarkan diri dalam upaya perbaikan sistem politik nasional dengan terlibat langsung di dalam sistem. Sikap itu didukung aktivis mahasiswa, seperti Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Twedy Ginting, yang tampil dalam diskusi yang digelar Partai Nasdem, beberapa waktu lalu, di Gedung Juang 45, Jakarta. Ia menuturkan, korupsi di Indonesia cenderung terkait dengan kekuasaan penyelenggara negara. Karena itu, kaum muda harus bangkit bersama melawan korupsi. Dia mengakui, tantangan terbesar bukan dari rakyat, melainkan justru dari dalam pemegang kekuasaan atau mereka yang menikmati kekuasaan itu.
Dengan melibatkan diri melalui Bahu Partai Nasdem, Taufik mengajak partai lain untuk bersama-sama melawan korupsi. Namun, ajakan yang diwujudkan dalam diskusi itu hanya ditanggapi oleh sejumlah aktivis pro demokrasi dan mahasiswa. Partai yang ikut serta hanya Partai Golkar versi Munas Ancol, Jakarta. Partai Golkar mengirimkan Laurens Siburian, Ketua Bidang Hukum Partai Golkar.
"Nasdem ingin mengonsolidasikan kembali semua potensi gerakan anti korupsi agar bersama-sama Polri, kejaksaan, dan KPK memasyarakatkan gerakan bersama melawan korupsi," kata Hermawi Taslim, Ketua Panitia Seminar "Bersama Melawan Korupsi", yang juga politisi muda. Nasdem mengajak partai lain dan mahasiswa untuk mengkritisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla agar tetap amanah dalam pemberantasan korupsi. Namun, ajakan itu tak mudah ditanggapi.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Widyo Purnomo, mantan Hakim Agung HP Panggabean, dan Laurens memuji langkah Partai Nasdem yang berani menggelar seminar dan ajakan untuk bersama melawan korupsi. Selama ini, parpol selalu dikaitkan dengan berbagai kasus korupsi.
Mereka mengingatkan pentingnya upaya pencegahan dalam perlawanan terhadap korupsi. Tidak cukup hanya dengan penindakan, misalnya menangkap dan menghukum tersangka yang terbukti bersalah. Upaya pencegahan antara lain memberikan kesejahteraan yang memadai kepada aparatur negara, termasuk penegak hukum.
Widyo, yang mewakili Jaksa Agung HM Prasetyo, memaparkan, indeks persepsi korupsi di Indonesia, mengacu data dari Transparency International (TI) sejak tahun 2009 hingga 2014, terus membaik. Indeks persepsi korupsi Indonesia tahun lalu adalah 3,4 (dari skor 0 hingga 10). Angka itu lebih baik dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2013 sebesar 3,2; tahun 2011 nilainya 3. Adapun skor 2009 dan 2010 adalah 2,8.
Menurut Widyo, tahun 2013, kejaksaan menangani 1.653 perkara korupsi, jauh lebih banyak dibandingkan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dan kepolisian. Angka itu relatif tak beranjak setiap tahun.
Perkara korupsi yang ditangani pun tak lepas dari penguasa, termasuk kader parpol. Sejak tahun 2005 hingga Agustus 2014, sebanyak 331 kepala daerah, 3.169 anggota DPRD, dan 1.221 pegawai negeri sipil terjerat korupsi yang ditangani kejaksaan.
Sesuai dengan arahan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, kata Taufik, tak ada tempat bagi kader yang melakukan korupsi di partai itu. Nasdem harus bersih dari korupsi. Nasdem juga harus menjadi pelopor gerakan anti korupsi. Kini tinggal menanti respons dari partai lain, terutama dari politisi muda. Merekalah harapan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar