Kasus kekerasan anggota DPR, bagi saya, mesti dilihat dari beragam sudut pandang. Rohman terlalu "terburu-buru" menautkan dua kasus kekerasan dengan sadisme ala Marquis de Sade. Yang jadi duduk perkara, dari mana Rohman tahu anggota DPR mengidap patologi sadisme? Cukupkah dua kasus, "tinju di toilet" dan "meja porak poranda" imbas emosi Hasrul Azwar yang dikutip Rohman, jadi fakta praktik sado- masokhis?
Kedua fenomena itu, bagi saya, inkoheren karena lepas dari konteks histori-filosofis. Sadisme De Sade bisa ditemukan dalam karyanya,
Situasi paradoksal inilah yang coba "dihubung-hubungkan" Rohman dengan tindak merusak, memukul, dan memorakporandakan benda-benda. Yang mengherankan saya, bagaimana Rohman secara agak mengejutkan menautkan kekerasan fisik dengan sadisme? Padahal, "tinju di toilet" dan "meja porak poranda" belum cukup dikategorikan sebagai tindakan sadistis, apalagi keji. Dari sini, ada pergeseran penalaran, dari dugaan berubah menjadi kesimpulan. Pergeseran penalaran ini terasa kurang relevan, atau yang saya sebut sebagai
ANDRI FRANSISKUS GULTOM, MAHASISWA PASCASARJANA ILMU FILSAFAT UNIVERSITAS GAJAH MADA, YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar