Tak bisa dielakkan bahwa pembentukan satuan tugas (satgas) pemberantasan korupsi memiliki relevansi yang erat dengan polemik antara KPK dan kepolisian belakangan ini. Buruknya komunikasi dan koordinasi ditengarai sebagai sebab utama gesekan antarlembaga penegak hukum. Alhasil, ketiga pemimpin lembaga penegak hukum tersebut mendorong pembentukan sebuah wadah komunikasi dan kerja sama lintas institusi.
Dalam kaca mata masyarakat umum, sesungguhnya tujuan besar pembentukan satgas antikorupsi masih kabur. Namun, jika mengutip sejumlah pernyataan para pemimpin lembaga itu, mereka menyebut pembentukan satuan ini demi mempermudah penanganan pelbagai kasus korupsi yang memiliki irisan.
Jika kita berpegang kepada pernyataan lisan yang disampaikan, dua hal pokok harus diperhatikan terkait kasus-kasus korupsi yang memiliki irisan. Pertama, irisan dari segi waktu, dan, kedua, irisan dari auktor/ pelaku. Pada titik itu pembentukan satgas antikorupsi ini memiliki dasar argumentasi yuridis yang sangat lemah. Pasalnya, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah mengatur berbagai potensi persinggungan antara lembaga penegak hukum (baca beririsan). Pengaturannya bisa merujuk kepada Pasal 50 UU KPK.
Dalam Ayat 3 dan 4 UU itu diatur ihwal apabila KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan. Presedennya sudah ada dalam penanganan kasus simulator surat izin mengemudi yang sempat menjadi polemik pada 2012. KPK dan kepolisian saat itu berebut menangani kasus korupsi pada waktu sama dan sebagai tersangka juga sama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan pasal ini sebagai acuan untuk menegaskan kepolisian menghentikan penanganan perkara yang sama. Maka, secara aturan, tumpang tindih dalam penanganan kasus korupsi sudah dapat diantisipasi dalam ketentuan ini. Terlebih lagi ketentuan UU memberi KPK fungsi koordinasi dan supervisi dalam penangangan kasus korupsi (Pasal 6), mengoordinasikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi (Pasal 7), melaku- kan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang berkaitan pemberantasan korupsi (Pasal 8).
Menjadi pertanyaan besar, apakah pembentukan satgas ini tak mereduksi mandat KPK berdasarkan UU? Sudahkah pemimpin KPK menyadari hal ini? Bukankah pembentuk UU meletakkan secara jelas KPK sebagai
Sumbu masalah
Pembentukan satgas, atau dengan nama apa pun, yang berkaitan dengan tugas pemberantasan korupsi dengan sifat
Selanjutnya pernah pula dibetuk Satgas Antimafia Hukum yang dibuat di bawah UKP4 dengan komposisi perwakilan beberapa penegak hukum dan staf presiden. Namun, lagi-lagi hanya menyelesaikan persoalan secara kasuistis.
Berdasarkan studi Koordinasi dan Supervisi Penanganan Kasus Korupsi yang dilakukan ICW pada 2011, ada dua persolan mendasar buruknya koordinasi antarpenegak hukum. Pertama menyangkut ego sektoral lembaga penegak hukum. Masing-masing seolah-olah enggan berada di bawah subordinasi institusi yang lain, apalagi menjadi sekadar pelaksana. Dengan koordinasi, apalagi supervisi, maka dominasi dan kekuasaan mereka akan tergerus instansi lain.
Kedua, perkara korupsi adalah salah satu sumber korupsi. Praktik korupsi mafia peradilan menjadikan kasus-kasus korupsi sebagai target. Karena itu, koordinasi, dan apalagi supervisi, akan menganggu kelangsungan praktik korupsi tersebut.
Maka, berkaca kepada pengalaman terdahulu, satgas yang dibentuk itu tidak berkorelasi positif mendorong peningkatan kinerja pemberantasan korupsi. Ditambah lagi bahwa Kejaksaan Agung baru-baru ini juga membentuk satgas internal dalam kasus korupsi.
Lalu, siapa dan bagaimana menyelesaikan kusut masai penegakan hukum demikian ini? Tanggung jawab tersebut ada dan berada langsung di tangan presiden.
Penyelesaian
Perpanjangan tangan semacam satgas selalu gagal karena tidak mereformasi jantung permasalahan di tingkat penegak hukum. Presiden pun tidak mengintervensi langsung perubahan lembaga-lembaga penegak hukum yang secara struktural di bawah kewenangan kepala negara.
Buruknya komunikasi karena ego sektoral harus dipangkas oleh sikap tegas dan konkret seorang presiden dengan cara mereformasi lembaga kepolisian dan kejaksaan. Cara paling awal bisa dimulai dari menyingkirkan aparatus penegak hukum di kepolisian dan kejaksaan yang menjadi penghambat dan sumber masalah dalam pemberantasan korupsi.
Untuk membangun koordina- si yang baik dan menghindari cara-cara yang kasuistis, sudah seharusnya dimulai pembentukan sistem pengontrolan penanganan kasus korupsi yang daring dan terintegrasi antara ketiga penegak hukum itu.
Sistem ini akan memudahkan dalam mengawasi penanganan perkara korupsi sembari membangun saling kontrol antara lembaga penegak hukum tanpa melulu melalui satgas. Tumpang tindih kasus juga akan otomatis tidak akan terjadi. Sistem yang terintegrasi itu harus dengan akses terbuka bagi masyarakat sehingga akan ada pengawasan vertikal dan horizontal.
Berkaca kepada sejarah, presiden dan para pemimpin penegak hukum sudah seharusnya menghindari pembentukan unit
DONAL FARIZ
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Inflasi Satuan Tugas Antikorupsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar