Drama menggambarkan kehidupan dengan fokus pada aspek tertentu. Kita tahu maksudnya adalah untuk menegaskan alur cerita, tokoh, situasi, atau suasana dunia lakon, bukan untuk menyesatkan penonton.
Tokoh karismatik akan beraksi penuh wibawa. Gayanya gagah ketika bermonolog atau berdialog, dagu terangkat, suaranya berat lembut sehingga penonton mendapatkan karakter penuh pesona. Tokoh pejabat korup yang sok saleh, gaya monolognya sering ditingkah tawa jemawa; saat berdialog dengan massa gemar istigfar, bahkan menangis sesenggukan di muka wartawan.
Itulah tontonan di panggung teater. Anda dan saya menonton para aktor dan aktris yang beraksi menurut arahan sutradara.
Kini, bisakah Anda ingkari bahwa di Republik ini banyak aktor-aktris dalam lakon sesat? Lakon itu, dengan sukacita atau terpaksa, kita sepakati dan mainkan bersama akibat kelemahan sistem hukum dan moral. Lakon yang mengundang bencana kebodohan kolektif dan berujung kehancuran dengan sutradara lebih dari seorang. Mereka yang paham konteks akan bersoal perihal jati diri para dalang.
Dalam
Tiada yang menyangka, sang wakil uskup berwatak keji. Sejak tersihir pesona La Esmeralda si gadis Gipsy, moralnya merepih. Imannya kewalahan melawan keindahan si Bunga Lily, perawan suci dari dunia gelandangan.
Tak mau mengakui kelemahan kodrati yang melekat pada dirinya, Frollo ambil jalan kejam: melenyapkan La Esmeralda, biang keladi pengacau iman. Ia memperalat Jacques Charmolue, pengacara raja di pengadilan gereja, untuk mencari-cari kesalahan si penari jalanan. Tiada beda lagi antara kesucian moralitas dan kebusukan dalih palsu sang biarawan.
Suatu malam, Frollo menikam lelaki yang tengah merayu gadis itu di kamar losmen. La Esmeralda, yang pingsan karena kaget, tiba-tiba jadi tersangka. Jalan hidup gadis 15 tahun itu mendadak kelam. Dakwaannya berat: pembunuh dan penyihir.
Masyarakat yang semula memandang La Esmeralda sebagai matahari jalanan kota Paris ikut mencemooh. Dia yang datang dari kaum gembel memang rentan fitnah dan ketidakadilan.
Gambaran sekarang
Pernyataan sang narator cerita seperti menyindir kita: "keadilan pada zaman itu tak banyak menaruh perhatian pada klarifikasi dan akurasi dalam proses persidangan." Raja Louis XI, sonder periksa, menjatuhkan vonis mati atas La Esmeralda.
Cerita tamat dengan kematian si gadis suci di tiang gantungan. Sang dalang, Wakil Uskup Frollo, selamat, tetapi pengarang tak rela. Dia dibunuh Quasimodo, si bungkuk yang tahu kejahatan ayah angkatnya itu.
Lakon bangsa kita lebih buruk daripada cerita itu. Warga Paris abad pertengahan tidak punya akses untuk memahami intrik-intrik kekuasaan di gereja dan istana. Mereka membebek ke mana telunjuk penguasa diarahkan. Keadaan kita tidak senaif itu. Namun, informasi dan transparansi nyaris tak berguna karena elite politik berduyun-duyun ikut narasi dalang, sementara rakyat sekadar aktor tanpa wajah.
Di tengah gerakan bangsa melawan korupsi, para dalang dengan kepentingan masing-masing berkomplot melumpuhkan hamba-hamba hukum yang jujur. Masyarakat gelisah merasakan kejanggalan perilaku penegak hukum yang jemawa.
Dalih "demi hukum dan konstitusi", "menghindari pencemaran nama baik", "sesuai prosedur hukum", "tiada intervensi terhadap lembaga hukum" sekilas tampak netral, tertib, dan positif. Padahal, semua itu membuat kita kerdil, terpasung, dan ikut memainkan lakon sesat.
Dalam lakon ini, bukankah konstatasi-konstatasi itu jadi aspek yang ditonjolkan secara berlebihan sehingga terjadi digresi cerita berkepanjangan?
Perlu ada dekonstruksi pemaknaan atas frase-frase normatif yang rentan manipulasi itu karena, tak mustahil, malah jadi dinding pelindung ruang gelap tempat aparat korup mendalang. Tanpa terobosan hukum, presiden pun tak berdaya.
Mari kita sudahi lakon ini. Saatnya para dalang dituntut pertanggungjawabannya.
KURNIA JR, SASTRAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Lakon Sesat".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar