Sekolah Manajemen Sloan dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) baru-baru ini mengumumkan, mereka akan bermitra dengan Bank Sentral Malaysia untuk membuka Sekolah Bisnis Asia yang baru di Kuala Lumpur pada 2016.
Sebelumnya, negeri jiran ini telah menaungi kampus-kampus cabang dari Universitas dari Inggris dan Australia, termasuk kampus Sekolah Kedokteran Universitas Newcastle dan Universitas Nottingham Malaysia.
Singapura memimpin di wilayah Asia Tenggara dengan menaungi 13 kampus asing dan sejumlah kemitraan internasional. Hal serupa juga ditempuh Vietnam yang menaungi kampus cabang dari Institut Teknologi Royal Melbourne.
Ya, kemitraan pendidikan internasional tengah naik daun. Negara tuan rumah memperoleh akses ke pengetahuan dan pengajaran kelas dunia, dan mahasiswa setempat mendapatkan lebih banyak pilihan program pendidikan berkualitas, tanpa harus meninggalkan negaranya. Universitas internasional perlu membangun reputasi global mereka, terutama di wilayah seperti Asia Tenggara, yang rata-rata pendapatan rumah tangga dan populasi usia kuliahnya terus bertumbuh.
Mengapa Indonesia tidak memiliki kemitraan serupa? Jawabannya sederhana: kemitraan itu tidak sah secara hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20012 tentang Pendidikan Tinggi dan undang-undang sebelumnya, melarang pendirian kampus cabang dari universitas internasional. Larangan itu juga berlakuuntuk gelar dan program pengajaran gabungan, kecuali menurut kondisi yang sangat khusus. Dengan beberapa pengecualian, dosen asing tidak diizinkan mengajar di universitas di Indonesia.
Proteksi pendidikan tinggi
Pembatasan ini dijustifikasi sebagai cara untuk melindungi pendidikan tinggi di Indonesia karena dinilai masih terlalu lemah untuk bersaing dengan universitas global. Ini merupakan versi akademik dari "proteksi terhadap industri bayi," di mana pemerintah memblokir impor suatu barang—misalnya semen atau baja—sampai perusahaan domestik cukup kuat untuk bersaing dengan perusahaan asing.
Permasalahan dengan proteksi industri bayi adalah "para bayi" lokal ini tidak memiliki insentif untuk tumbuh dewasa. Asumsinya, daripada membuang waktu dan uang untuk mencoba mengikuti perkembangan teknologi baru, perusahaan lokal melobi pejabat pemerintah untuk memastikan impor diblokir. Konsumen paling dirugikan dengan cara ini karena harus membayar harga tinggi untuk semen dan baja produksi dalam negeri, yang sebagian tidak memenuhi standar kualitas internasional.
Pemerintah telah memproteksi universitas di Indonesia dari persaingan asing selama bertahun-tahun. Namun, hasilnya sangatlah mencengangkan, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini tidak mempunyai satu pun lembaga di the Times Higher World University 400. Kinerja penelitian, sebagaimana diukur dengan publikasi ilmiah dan kutipan, sangatlah menyedihkan karena bukan hanya berada di belakang Malaysia dan Thailand, melainkan juga negara yang lebih miskin, seperti Vietnam dan Banglades.
Situasi ini menghambat pertumbuhan ekonomi. Universitas menghasilkan terlalu banyak lulusan dari program manajemen umum dan tidak cukup banyak insinyur serta ilmuwan. Pemberi kerja melaporkan bahwa insinyur Indonesia dibayar dua kali lipat dari insinyur India, tetapi membutuhkan lebih banyak pelatihan kerja.
Proteksi industri bayi untuk universitas tidak membantu orang miskin dan yang berasal dari perdesaan. Sekitar 56 persen mahasiswa yang terdaftar dalam program sarjana datang dari rumah tangga yang termasuk ke dalam seperlima populasi terkaya, sementara 60 persen termiskin—rumah tangga yang hidup dengan penghasilan kurang dari 1,50 dollar AS per hari—hanya menyumbangkan 10 persen mahasiswa.
Akademisi Indonesia sering kali mengklaim bahwa isu utamanya adalah uang. Pemerintah telah merespons hal ini dengan menggandakan anggaran untuk pendidikan tinggi antara tahun 2007 dan 2012. Sayangnya, lebih banyak uang belum menghasilkan peningkatan yang dapat diukur dalam hal pengajaran atau penelitian.
Uang yang lebih banyak tidak akan berhasil selama universitas Indonesia masih menikmati proteksi industri bayi. Kebijakan pemerintah saat ini dirancang untuk menghilangkan semua bentuk kompetisi dari sektor ini. Kenaikan jabatan dosen, misalnya, dilakukan berdasarkan senioritas dan bukan karena penelitian dan kinerja pengajaran. Departemen akademis secara rutin mempekerjakan lulusan mereka sendiri sebagai dosen, sebuah praktik yang mendorong terjadinya patronase dan favoritisme, dan mengecilkan kompetisi. Tentu saja, universitas internasional tidak disambut baik di negeri ini.
Mereformasi sistem tidak akan mudah. Sebagian besar lembaga dan akademisi akan secara aktif menentang perubahan yang berupaya memasukkan lebih banyak akuntabilitas dan kompetisi ke dalam pengaturan pendanaan, remunerasi, perekrutan, dan kenaikan jabatan.
Sektor industri menjadi contoh yang menarik untuk perguruan tinggi. Mengurangi hambatan investasi sering kali sulit secara politis karena industri yang diproteksi menggunakan pengaruh para politisi untuk menghalang-halangi reformasi.
Daripada langsung menantang mereka yang mempunyai kepentingan terselubung, pembuat kebijakan menggunakan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai eksperimen kebijakan untuk mencapai liberalisasi terkendali. KEK sering kali dianggap sebagai cara yang tidak mengancam secara politis untuk menarik investasi yang dibutuhkan dengan tidak adanya reformasi yang lebih dalam.
Eksperimen kemitraan
Dalam dunia pendidikan, mungkin juga sulit untuk menciptakan celah di lokasi geografis tertentu karena akademisi dan lembaga yang berpola pikir reformasi belum tentu berada di lokasi yang saling berdekatan. Daripada melakukan hal itu, pemerintah dapat menciptakan suatu program ilmu pengetahuan dan teknologi khusus yang memungkinkan universitas internasional dan domestik untuk menetapkan kemitraan pengajaran dan penelitian baru dalam disiplin ilmu tertentu yang saat ini kurang terwakili di universitas di Indonesia.
Menurut Bank Dunia, 30 persen tenaga kerja Indonesia yang berusia 30-45 tahun membutuhkan pelatihan kembali. Pemerintah dapat mendorong akademi, perguruan tinggi, dan universitas untuk bekerja sama dengan industri untuk membentuk program kejuruan khusus untuk mengatasi kekurangan keterampilan tertentu di pasar tenaga kerja. Ada banyak eksperimen serupa yang menciptakan inovasi. Intinya adalah reformasi sektor pendidikan tinggi mungkin akan dimulai dengan langkah-langkah kecil, dan bukan pula sebuah lompatan raksasa. Seiring waktu, pemerintah dan akademisi di Indonesia semoga menyadari, persaingan dan keterbukaan merupakan hal yang baik untuk mendewasakan pendidikan tinggi di negeri ini.
JONATHAN PINCUS,
PENASIHAT SENIOR UNTUK TRANSFORMASI DAN PENGAJAR DI PUSAT STUDI PEMBANGUNAN, UNIVERSITAS CAMBRIDGE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Mendewasakan Pendidikan Tinggi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar