Daya ledak yuan ini begitu dahsyat, hampir semua mata uang dunia jatuh lunglai dengan depresiasi yang begitu tajam. Dalam waktu singkat, sebagian besar mata uang, termasuk rupiah, berada dalam zona undervalue (nilai mata uang di bawah nilai fundamental ekonominya).
Kehebohan yuan seakan mengubur diskusi panjang-hampir setahun-tentang kenaikan suku bunga AS. Dunia sekarang terfokus dan terserap energinya serta sibuk menghitung apa dampak pelemahan yuan terhadap perekonomian global dan regional. Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis: berapa besar lagi Tiongkok akan melemahkan yuan? Wacana perang mata uang (currency war) pun kembali muncul ke permukaan.
Soal daya saing
Menarik disimak, ada perbedaan gaya pendekatan kebijakan ekonomi negara maju-terutama AS-dibandingkan Tiongkok. AS cenderung mengomunikasikan dan selalu melihat reaksi pasar ketika mau mengambil kebijakan, seperti quantitative easing(QE), tapering off, dan yang terakhir rencana kenaikan suku bunga The Fed. Dengan harapan, negara lain dan investor dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan baik. Walaupun pada kenyataannya, setiap kebijakan moneter AS cenderung membuat pasar finansial dan valas menjadi berfluktuatif. Sementara Tiongkok yang kental dengan budaya Asia, cenderung diam, senyap dan tenang, serta sedikit bicara. Tiba-tiba saja yuan didevaluasi yang menghebohkan peta perekonomian global.
Melihat respons dunia atas aksi Tiongkok ini, tersirat jelas dunia melegimitasi kiprah Tiongkok sebagai negara yang sangat berpengaruh di dunia. Saya kira sangat wajar karena perekonomian Tiongkok termasuk ketiga terbesar dunia, dengan total produk domestik bruto sebesar 10.360 miliar dollar AS, di bawah AS dan Eropa masing-masing 17.869 miliar dollar AS dan 13.402 miliar dollar AS. Sementara Jepang hanya 44 persen dari total perekonomian Tiongkok.
Supernya Tiongkok juga terlihat dari cadangan devisa yang paling besar di dunia, yaitu 3.651 miliar dollar AS (32 persen dari total cadangan devisa dunia), diikuti Jepang yang hanya sepertiganya (1.187 miliar dollar AS). Ditambah lagi, Tiongkok memegang surat utang negara adidaya AS sebesar 1.270 miliar dollar AS (9,7 persen dari total utang AS).
Pengalaman krisis ekonomi global 2008 menunjukkan betapa digdayanya Tiongkok sebagai penyangga perekonomian global agar tak terperosok terlalu dalam. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok masih tumbuh positif 9,2 persen pada 2009. Bahkan, pada tahun pemulihan perekonomian global, Tiongkok masih tumbuh dua digit, yaitu 10,4 persen pada 2010. Sebaliknya, perekonomian negara Barat, seperti AS, Eropa, dan Rusia, mencatat pertumbuhan negatif, masing-masing 2,8 persen, 4,4 persen, dan 7,8 persen pada 2009. Begitu juga perekonomian di negara Asia, seperti Jepang (-5,5 persen), Singapura (-0,6 persen), dan Malaysia (-1,5 persen).
Melihat krisis ekonomi global ini, sangat kasatmata terlihat Tiongkok menjadi dewa penyelamat dunia dan peranannya sangat berpengaruh, bahkan mungkin sudah mulai mengambil peran penting AS di kancah perekonomian global.
Dalam perkembangannya, Tiongkok merasa perekonomiannya mulai kurang sehat jika tetap mempertahankan pertumbuhan tinggi. Akhirnya, perubahan paradigma menuju era stabilisasi dan berkesinambungan diputuskan oleh Tiongkok. Di sinilah awalnya yuan dibiarkan menguat secara gradual dan perlahan sejak pertengahan 2010, di mana sebelumnya dijaga pergerakannya di kisaran 6,8 yuan per dollar AS. Dari sisi kebijakan moneter juga terlihat ketat untuk mengerem pertumbuhan ke titik keseimbangan baru yang lebih berkesinambungan.
Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun lebih cepat dari perkiraan. Hanya dalam kurun tiga tahun, pertumbuhan ekonomi turun hampir 2 persen dari 9,3 persen pada 2011 menjadi 7,4 persen pada 2014. Ini diperkirakan akan terus berlanjut menuju level di bawah 7 persen pada 2016. Jika ini dibiarkan, tingkat pengangguran di Tiongkok berpotensi menukik tajam. Kondisi ini tentu sangat berisiko terhadap stabilitas sosial dan politik pemerintahan "Tirai Bambu".
Berdasarkan indeks Real Effective Exchange Rate yang berada di level 130, produk ekspor Tiongkok sangat tidak kompetitif dibandingkan negara lain. Dengan kata lain, produk Tiongkok saat ini jauh lebih mahal 30 persen dibandingkan partner dagangnya. Alhasil, pertumbuhan ekspor Tiongkok tergerus tajam ke 6 persen pada 2014, jauh di bawah kondisi normal di atas 20 persen.
Atas dasar kondisi di atas, tampaknya kebijakan moneter dan fiskal Tiongkok sudah tak mampu menahan kemungkinan pertumbuhan yang cenderung melambat. Akhirnya, dipilihlah devaluasi yuan yang sekarang kita hadapi bersama, yang sangat mengagetkan pasar finansial.
Jika target utama depresiasi yuan menaikkan daya saing produk Tiongkok, kemungkinan yuan masih memerlukan depresiasi paling tidak 5 persen lagi. Ini artinya risiko pelemahan mata uang negara lain (termasuk rupiah) tak dapat dihindarkan lagi walaupun probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS akan mengecil tahun ini.
Menunggu aksi nyata
Menghadapi situasi seperti ini, Indonesia akan sulit lepas dari dampak negatifnya (termasuk negara di kawasan regional). Suka atau tidak suka, kita harus siap menghadapi risiko pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih lambat, gejolak pasar finansial, pasar obligasi dan valas yang mungkin lebih besar kadarnya.
Pengalaman 2008, Indonesia cukup berhasil keluar dari krisis ekonomi global. Perekonomian bisa tumbuh 4,7 persen pada 2009. Berkaca dari pengalaman ini, saya kira Indonesia juga akan mampu mengatasi situasi yang sangat menantang ini.
Perombakan kabinet sudah dilakukan Presiden, terutama di bidang ekonomi. Ini menunjukkan pemerintah sangat peduli dengan kondisi perekonomian Indonesia yang hanya tumbuh 4,7 persen pada semester I-2015. Harus disadari dan jangan berharap berlebihan, perombakan kabinet ini mungkin memang diperlukan untuk menambah aura positif yang sebelumnya negatif, tapi belum cukup mengatasi masalah struktural yang sudah berakar lama secara instan.
Pelambatan ekonomi sudah di depan mata, rupiah juga terlihat terus melemah, pasar saham dan obligasi pun dalam tekanan. Jadi, yang sangat dibutuhkan masyarakat, pelaku usaha, dan investor ialah menunggu aksi riil pemerintah dalam memitigasi risiko buruknya perekonomian bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketika pemerintah, BI, dan OJK sudah bekerja sangat baik, jauh lebih baik daripada sembilan bulan yang sudah dilalui, masyarakat pun akan menoleransi dan bersabar dengan kemungkinan situasi terburuk. Semoga kita keluar sebagai bangsa pemenang dari ancaman domestik dan eksternal yang cenderung makin bergejolak. Amin.
ANTON HENDRANATA
CHIEF ECONOMIST PT BANK DANAMON INDONESIA (TBK); TULISAN INI PENDAPAT PENULIS PRIBADI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Ancaman Tiongkok".
Artikel yang menarik sekali :)
BalasHapus