Laju pertumbuhan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang selama bertahun-tahun sekitar 10 persen menolong lebih banyak lagi perekonomian negara-negara yang mengandalkan ekspor komoditas dan sumber alam sebagai motor pertumbuhan ekonominya. Indonesia jelas ikut menikmatinya.
Bahkan, dalam acara bincang-bincang dengan sejumlah bankir dan financiers di Hotel Ritz-Carlton Jakarta, akhir bulan lalu, sejumlah bankir menanyakan pendapat saya tentang renminbi dan ekonomi RRT yang disebutkan akan mengambil alih peran dollar AS dan ekonominya di dunia. Mereka mengacu perkiraan seorang ahli pasar modal dan keuangan kenamaan meski tanpa disertai penjelasan bagaimana terjadinya dan mengapa. Hanya menyebutkan bahwa akan ada keputusan IMF bulan Oktober nanti yang mengejutkan dan mengubah peran renminbi.
Bahwa peran renminbi dan ekonomi RRT memengaruhi perkembangan pasar modal dan gonjang-ganjing nilai tukar banyak mata uang, tentu kita semua mafhum karena tidak ada media yang melewatkan. Namun, kalaupun ini suatu kejutan, jelas tidak seperti ramalan yang sempat bikin bingung itu. Yang terjadi adalah sebaliknya, renminbi dan perkembangan pasar modal RRT justru menjadi sumber kegoncangan karena terjadi penurunan kepercayaan pasar terhadap ekonomi dan manajemen RRT.
Perekonomian RRT yang selama beberapa tahun pasca krisis keuangan global menjadi "penyelamat" perekonomian Asia dan dunia mengalami degradasi. Dia menjadi faktor pendorong kegoncangan mata uang negara berkembang di Asia dan BRICS, kemudian pasar modal seluruh dunia.
Kita semua mendengar berita tentang "The Black Monday" atau Senin Hitam, terjadinya penurunan harga saham di semua pasar modal dunia, Senin pekan ini. Gejolak ini sudah berkembang beberapa waktu, tetapi semula hanya dirasakan di Asia dan negara BRICS—Brasil, India, Rusia, Tiongkok, dan Afrika Selatan—juga Cile dan Turki. Namun, sejak minggu lalu, gejolak ini telah menjalar ke pasar modal di negara-negara maju, termasuk AS.
"The Black Monday"
Sejak Senin lalu sampai kini, kegoncangan terus berkembang. Indeks harga saham dari Nikkei (Jepang), Hang Seng (Hongkong), Shanghai dan Shenzhen (RRT) sampai ke Singapura, Indonesia, dan Australia semua menunjukkan penurunan sampai sekitar 3 persen. Perkembangan ini diikuti dengan penurunan harga saham di pasar-pasar modal Eropa, baik dalam lingkungan zona euro (Euro Stoxx 50) termasuk Jerman (DAX), Inggris (FTSE 100) maupun negara lain. Akhirnya juga di AS, baik indeks Dow Jones di NYSE untuk blue chips (S&P 500), Nasdaq untuk electronics dan derivatives, maupun Russel 2000 untuk mutual fundsdan perusahaan menengah-kecil.
Buat pasar modal RRT dan AS yang selama lima-enam tahun terakhir terus meningkat, penurunan terjadi sampai 30 persen dibandingkan puncak yang pernah dicapai sebelumnya. Bisa dibayangkan berapa besar nilai aset finansial yang hilang karena penurunan harga saham-saham tersebut. Semua pasar modal terguncang. Itulah "The Black Monday".
Perlu ditekankan bahwa permasalahannya justru terbalik dari ramalan yang membuat bingung para bankir dan pelaku keuangan di atas. Renminbi bukan acuan investor global, melainkan justru sebaliknya, devaluasi renminbi dan penurunan harga saham di RRT menimbulkan keraguan pasar terhadap kepemimpinan RRT dan renminbi. Bahkan, dimasukkannya renminbi ke dalam mata uang elite dunia, dollar AS, pounds Inggris, DM Jerman, dan yen Jepang, pun baru diputuskan IMF tahun depan, bukan Oktober ini.
Jadi bahwa perekonomian RRT meningkat perannya memang terjadi, tetapi dalam pengaruh negatifnya. Devaluasi dan penurunan harga saham yang drastis telah memengaruhi penurunan harga-harga saham di pasar modal Asia, Eropa, dan AS. Ini suatu pelajaran baik bagi kita semua agar jangan cepat terkesima dengan segala macam ramalan, termasuk pengamat yang dianggap pakar.
Tentu ini juga berlaku bagi saya apabila ada yang memandang saya sebagai salah satu dari mereka itu. Silakan dikaji dulu, jangan serta-merta diterima sehaus apa pun kita ingin mengetahui. Untuk sekadar ingin tahu pun perlu sikap kritis, apalagi kalau digunakan untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perusahaan dan tentu lebih lagi kalau untuk kepentingan masyarakat luas, perekonomian nasional.
Waktu bekerja di Bank Indonesia, saya selalu mengingatkan rekan dan staf agar jangan mudah percaya kepada siapa pun. Semua orang ada tingkat discount-nya, ada yang besar buat tukang ngibul ada yang kecil bagi yang punya integritas. Namun, semua harus kita kritisi sebelum menerima atau menolaknya.
Beberapa catatan
Memang benar ekonomi RRT—saat negara-negara maju, AS, Eropa, dan Jepang, mengalami resesi besar setelah krisis keuangan global sejak 2008-2009—menjadi penyelamat Asia bahkan dunia dengan pertumbuhan ekonomi 10 persen. Pertumbuhan ekonomi RRT yang tinggi itu jadi sumber terjadinyacommodity boom yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam. Sumber pertumbuhan juga berasal dari pengeluaran investasi untuk pembangunan prasarana yang memerlukan bahan baku besar-besaran.
Namun, dengan penurunan laju pertumbuhan menjadi 7 persen (mungkin lebih rendah lagi) dan kebijakan rebalancing yang mengubah sumber pertumbuhan dari investasi kepada konsumsi dalam negeri, RRT tidak lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam.
Pasar modal RRT bergejolak sejak Juni lalu dan berlanjut sampai kini kendati telah dilaksanakan kebijakan intervensi terhadap pasar modal, seperti pembelian saham oleh otoritas dalam jumlah besar, pelarangan IPO, pelarangan penjualan sejumlah besar saham, ataupun pelonggaran ketentuan investasi dana pensiun untuk pembelian saham sampai 30 persen. Pengelolaan nilai tukar renminbi diubah di satu pihak dengan lebih menyerahkan kepada kekuatan pasar, di pihak lain dengan intervensi, termasuk devaluasi yang dilakukan baru-baru ini.
Penurunan laju pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan rebalancingdikombinasikan dengan kebijakan pasar modal dan perubahan pengelolaan nilai tukar—yang tampaknya kurang optimal—telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental. Ekonomi RRT tidak lagi menjadi penyelamat ekonomi Asia dan dunia, tetapi gejolak di pasar uang dan devaluasi renminbi yang baru dilakukan justru telah menempatkan RRT menjadi penyebab atau minimal pendorong terjadinya kegoncangan nilai tukar negara-negara Asia dan BRICS ataupun kegoncangan pasar modal di Asia, Eropa, Inggris, dan AS.
Pengamatan ini bukan untuk menunjuk kambing hitam dari kemelut yang terjadi. Akan tetapi, memang terlihat terjadinya suatu perubahan. Persepsi pasar terhadap apa yang terjadi di dalam perekonomian RRT telah menumbuhkan langkah-langkah penyesuaian yang kesemuanya berkembang menjadi kegoncangan pasar modal dunia dan dinamakan "The Black Monday". Kegoncangan ini dapat menjadi krisis keuangan global yang baru sekiranya tidak diperoleh solusi yang tepat.
Akan tetapi, mengenai hal ini perlu pengamatan dan analisis tersendiri, mungkin termasuk melihat bagaimana menghadapinya agar gejolak ini tidak berkembang menjadi krisis baru.
J SOEDRADJAD DJIWANDONO, GURU BESAR EMERITUS EKONOMI UI; PROFESSOR OF IPE, RAJARATNAM SCHOOL OF INTERNATIONAL STUDIES, NTU, SINGAPURA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Ekonomi RRT dan Senin Hitam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar