Menurut berita terakhir yang beredar, mereka menghancurkan sama sekali reruntuhan monumental kota kuno Palmyra di Suriah bagian utara-timur laut. Palmyra adalah sebuah kota yang pada pertengahan abad pertama Masehi ada di bawah kekuasaan Romawi. Kota kuno ini sekaligus menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan di masa lalu. Di sinilah terjadi pertemuan rute perdagangan yang menghubungkan Persia, India, dan Tiongkok dengan Romawi.
Peninggalan kota kuno itu, antara lain, berupa monumen Kuil Ba'al, teater, tiang-tiang kuno yang berjajar sepanjang 1.100 meter, biara Katolik Roma, dan sejumlah kuil lain. Akan tetapi, semua itu kini telah tiada. Sebelumnya, mereka menghancurkan sejumlah situs bersejarah peninggalan peradaban manusia, bukti peradaban tinggi manusia di masa lalu. Makam Nabi Yunus di Mosul, Irak bagian utara, mereka hancurkan beberapa waktu silam.
NIIS beranggapan semua itu—semua yang mereka hancurkan, entah itu kuil, makam, patung, biara kuno, kota kuno, situs-situs sufi dan Syiah, ataupun segala bangunan kuno—tidak sesuai dengan ideologi mereka. Menurut mereka, mempertahankan semua bangunan, situs kuno, situs arkeologis, itu termasuk dalam kategori pemujaan terhadap berhala.
Namun, menurut Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova, yang mereka, NIIS, lakukan adalah "kejahatan perang baru". Penghancuran itu merupakan "kehilangan teramat besar bagi rakyat Suriah dan umat manusia".
Palmyra adalah simbol keberagaman, baik budaya, agama, bahasa, maupun suku dan etnis, Suriah yang sudah hidup selama bermilenium. Seni dan arsitektur Palmyra melambangkan pertemuan beragam peradaban dan simbol kompleksitas serta kekayaan identitas Suriah dan sejarah. Kini, semua itu, simbol-simbol itu, termasuk di sejumlah kota di Irak dan kota-kota lain di Suriah, sudah tiada, dihancurkan kelompok bersenjata NIIS.
Tentu pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan dunia—negara-negara di dunia ini, lembaga-lembaga internasional, yang peduli pada peradaban umat manusia—untuk menyelamatkan peninggalan sejarah yang masih ada? Apa yang terjadi di Suriah dan Irak membuktikan bahwa Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Properti Kultural, di tengah konflik bersenjata, tak berdaya, dengan mudah dilanggar oleh NIIS. Dan, tidak ada, termasuk kekuatan besar, yang menghalangi tindakan itu.
Suriah dan Irak sendiri tentu tidak mampu mencegah tindakan tak berbudaya kelompok bersenjata NIIS itu. Karena itu, butuh bantuan negara-negara lain, lembaga internasional, untuk menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban umat manusia yang masih tersisa.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "NIIS, Kejahatan Perang Baru".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar