Industri kebodohan pun menguasai kognisi, afeksi, dan perilaku/ekspresi publik. Lembaga pengawas penyiaran tampak tak berdaya.
Ketika institusi politik (negara-pemerintah), sosial (lembaga agama, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial), dan budaya (lembaga pendidikan) kurang optimal jadi pusat orientasi nilai bagi publik, industri televisi telah mengambil alih peran itu. Kooptasi kultural ini berlangsung vulgar, tanpaewuh pekewuh, tanpa basa-basi dan rasa malu.
Negara dan pemerintah tampak tak mau tahu. Sajian-sajian penuh kebodohan hadir deras mengalir di ruang keluarga, disantap para orangtua, remaja, dan anak-anak. Wujudnya bisa berupa variety show, talk show artifisial, pergelaran musik yang hanya menjual sensualitas, kompetisi-kompetisi semu berbasis kiriman SMS, kuis, lawak yang menjual penghinaan fisik, sinetron yang melecehkan logika-etika-estetika, tayangan yang menjual "hantu"/roh penasaran, infotainment, dan lainnya.
Kebodohan adalah terminologi kebudayaan yang terkait keterbatasan akal budi. Kebodohan mengakibatkan manusia tak memiliki keluasan horizon nilai, kesadaran etik-estetik, logika, gagasan, ilmu, pengetahuan dan etos kreatif, serta keterampilan teknis. Perilaku yang didasari kebodohan melahirkan hal-hal yang miskin nilai, dangkal, dan tidak memiliki makna.
Industri hiburan televisi yang hanya menjual tayangan-tayangan dangkal, vulgar, dan sekadar memenuhi hedonisme psikologis sengaja memilih pengembangbiakan kebodohan sebagai strategi untuk mendekati masyarakat penonton. Pihak-pihak yang berada di balik kepentingan dagang ini (pemilik stasiun, produser, tim kreatif, pemasar, sponsor, dan lainnya) beranggapan, "hanya produk yang ringan dan menghiburlah yang disukai penonton".
Kehancuran kebudayaan
Terjemahan ringan dan menghibur adalah lucu, seru, seram, sensasional, heboh, dramatik, dan komunikatif (gampang dipahami/dangkal). Budaya pop atau budaya massa yang mengutamakan selera massa dipakai sebagai pendekatan. Dunia penonton dipahami sebagai entitas sosial-budaya tunggal. Targetnya jelas: mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Di sini, industri hiburan televisi benar-benar hanya dipakai sebagai alat dagang.
Kehancuran kebudayaan bangsa ini bisa dimulai dari dominasi industri hiburan televisi yang buruk dan hanya menganggap publik sebagai entitas besar yang dieksploitasi demi keuntungan semata. Tak ada niat bagi para pelaku industri hiburan televisi untuk memuliakan publik secara budaya dan keadaban. Kebodohan publik justru dirawat dan dikembangbiakkan agar publik tetap jadi pasar yang aman bagi mereka.
Melawan industri kebodohan di televisi bisa melalui beberapa cara. Pertama, pentingnya strategi politik kebudayaan nasional yang mengutamakan penguatan karakter, kreativitas, dan inovasi bangsa. Di sini, stasiun televisi diposisikan sebagai lembaga sosial, politik, dan budaya yang jadi bagian penting dari perubahan kebudayaan menuju tingkat tinggi peradaban bangsa. Karena itu, televisi harus diletakkan sebagai institusi nilai yang bertanggung jawab untuk mengedukasi dan mencerdaskan publik.
Kedua, pentingnya regulasi yang mengatur dan mengontrol kebijakan stasiun televisi dan tayangannya sehingga bisa menjadi televisi sehat. Ukuran sehat antara lain kemampuan memberikan layanan informasi obyektif-akurat, ilmu, pengetahuan, dan hiburan bermutu yang mengandung nilai-nilai inspiratif (logis, etis, dan estetis) bagi publik.
Ketiga, pentingnya lembaga pengawasan materi tayangan dan penyiaran yang efektif dan memiliki kuasa, bukan sebatas memberi imbauan dan peringatan, melainkan memiliki kuasa untuk memberikan sanksi atas penyimpangan. Fungsi penting lembaga ini adalah menyelamatkan publik penonton televisi dari virus-virus kebudayaan yang sengaja diproduksi demi keuntungan pemilik stasiun televisi. Jika lembaga ini efektif bekerja, tidak akan ada lagi tayangan-tayangan yang dangkal, menghina akal sehat, melabrak etika dan norma sosial.
Keempat, pentingnya negara menjadi produsen nilai-nilai kebudayaan dengan memberikan dukungan regulasi dan pendanaan untuk memproduksi tayangan-tayangan berkualitas dan memiliki masa depan kebudayaan. Wujudnya bisa film televisi fiksi/dokumenter, features, talk showyang cerdas/visioner, film berkonten ilmu dan pengetahuan yang inspiratif, pergelaran musik, komedi cerdas, dan lainnya.
Negara tak bisa lagi hanya diam dan membiarkan dekadensi industri televisi terus berlangsung merajam kebudayaan bangsa. Negara dituntut memiliki kemauan politik tinggi untuk menjadikan stasiun televisi sebagai agen perubahan kebudayaan, bukan agen pasar bebas. Menghentikan laju liberalisme industri televisi tak harus secara otoriter, tetapi bisa dengan cara-cara kultural melalui regulasi dan kebijakan serta praksis yang membuka imajinasi dan inovasi bangsa. Saatnya negara bekerja secara konkret sebelum kehancuran kebudayaan makin parah akibat industri kebodohan di televisi.
INDRA TRANGGONO
Pemerhati Kebudayaan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Melawan Industri Kebodohan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar