- Martin Sheen
Belakangan ini muncul beberapa partai politik baru, di antaranya Partai Solidaritas Indonesia, Partai Persatuan Indonesia, Partai Damai dan Aman, serta Partai Priboemi. Mengapa hasrat mendirikan parpol tetap menyala setelah satu setengah dekade Reformasi 1998? Bagaimana prospek sekaligus tantangan yang mereka hadapi?
Tentu bukan dalam konteks euforia politik ketika berbagai kalangan antusias mendirikan parpol baru saat ini. Ini lebih karena masih adanya peluang terbuka bagi masyarakat untuk mendirikan parpol sebagai bagian dari hak berpolitik. Memang, secara perundang-undangan persyaratannya diperketat, tetapi nyatanya tak menghalangi hasrat politik kolektif warga untuk memprakarsai hadirnya wadah organisasi politik.
Kita dapat belajar dari pengalaman di mana orang mendirikan parpol belum tentu berhasil. Apabila dikaitkan dengan konteks aturan ambang batas parlemen, bahkan banyak yang gagal. Dalam kasus tertentu, sebuah parpol baru hadir dan langsung masuk ke kategori papan menengah (setelah Pemilu 2004), dan di pemilu berikutnya jadi pemenang pemilu. Ini kasus Partai Demokrat kendati dalam pemilu terakhir (2014) dukungan suaranya merosot signifikan.
Yang juga cukup fenomenal ialah Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Begitu ikut pemilu (2014), ia langsung dapat kursi di parlemen. Pada Pemilu 2009, fenomena serupa dialami Partai Hanura dan Gerindra. Parpol-parpol ini menggebrak di ranah catch-all parties, parpol terbuka. Di ranah "politik Islam" ada fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melejit sejak Pemilu 2004. Eksperimen sebelumnya melalui Partai Keadilan (PK) pun dilanjutkan PKS.
Merujuk pada nama-nama parpol baru di atas, segmentasi parpol terbuka telah memunculkan jumlah lebih banyak dibandingkan segmentasi "parpol Islam". Di ranah yang terakhir ini, Rhoma Irama sebagai ikon musik pop dangdut kontemporer yang dikenal melalui syair-syair lagu Islami mencoba melesatkan Partai Damai dan Aman (Idaman). Itu artinya, seandainya kelak mereka bisa ikut berlaga di Pemilu 2019 hanya akan membuat peta persaingan sangat ketat di segmentasi parpol terbuka.
Segmentasi ideologis memang bisa ditelaah lebih lanjut di ranah partai terbuka, tetapi tampaknya ia tak lebih penting ketimbang proyeksi dalam meraup dukungan publik luas. Dalam hal ini komentar Martin Sheen di atas mungkin ada benarnya: bahwa generasi ke depan akan lebih melihat pada apa yang dilakukan, bukan diwacanakan dan dilekatkan ideologi tertentu pada sebuah parpol.
Sebuah antitesis
Parpol-parpol baru itu memang belum didaftarkan dan resmi sebagai peserta pemilu, tetapi setidaknya dari persiapan-persiapan awal mereka tampak ikhtiarnya dalam menunjukkan alternatif. Mereka tengah berada pada fase awal membedakan diri dengan yang lain, mengemas apa yang khas untuk ditawarkan ke publik. Yang menarik, mereka sama-sama berada di era sosial media yang ingar-bingar. Perlombaan sosialisasi parpol pun harus berhadapan dengan sejumlah isu lain sehingga memerlukan jurus-jurus baru yang efektif diterima publik luas. Ini tidak mudah manakala pendekatannya sekadar berkutat lebih banyak di dunia maya.
Dalam sejarah parpol kita, tokoh sangat memainkan peran penting. Ia tak saja menjadi penanda (ikon) parpol itu, tetapi juga sumber karisma. Dalam kasus Partai Demokrat, Gerindra, Hanura, bahkan Nasdem, figur-figur utamanya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, Wiranto, dan Surya Paloh, tampak demikian penting. Mereka bisa menjadi magnet dalam pemilu.
Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya daya kritis dan rasionalitas masyarakat, parpol bergantung pada tokoh saja tidak cukup. Pengalaman Pemilu 2014 yang lalu setidaknya mengonfirmasi bahwa tidak ada parpol yang sangat kuat karena tokohnya. Adanya sepuluh parpol yang lolos ambang batas elektoral ke parlemen, dengan tidak adanya parpol yang meraih dukungan suara di atas 20 persen, sesungguhnya mencerminkan fenomena tersebut.
Hadirnya parpol-parpol baru di Tanah Air, bagaimanapun, tak dapat dilepaskan dengan antitesisnya terhadap parpol-parpol yang sudah ada. Dewasa ini, parpol nyaris selalu jadi sorotan dikaitkan dengan dinamika kehidupan politik bangsa yang kerap tersandera. Parpol dituduh lebih banyak bersikap egoistis dan belum sepenuhnya kontributif bagi pemecahan masalah-masalah bangsa. Bahkan, kritik yang lebih ekstrem mengungkapkan bahwa parpol masih menjadi beban ketimbang solusi.
Inilah yang membuat fenomena antipartai menyeruak. Lazimlah kiranya kemudian sebagai tindak lanjut atas kekecewaan dan kelemahan parpol-parpol lama itu muncul dua sikap yang berbeda. Pertama, reaksi emoh parpol. Ujungnya ialah seseorang atau sekelompok orang menyatakan dirinya golput (non-voters). Mereka tak akan berpartisipasi dalam pemilu dan emoh bersentuhan dengan apa-apa yang dilakukan parpol. Kedua, sikap yang mencoba memberi jawaban, yakni dengan memunculkan parpol-parpol baru. Harapannya, mereka akan bisa menutup kelemahan yang lama dengan energi dan harapan baru.
Dalam konteks yang terakhir itulah parpol-parpol baru muncul. Ada spekulasi dan proyeksi atas keberadaan masing-masing. Hukum alam politiklah yang kelak menentukan, mana yang eksis mana yang tumbang. Itu juga berlaku bagi parpol lama. Parpol yang keberatan konflik, tak mampu berinovasi dan menjawab "kebutuhan" publik, sangat mungkin akan cepat tergilas jiwa zaman.
Dalam konteks ini, parpol baru bisa jadi pengantar ke harapan baru, bisa jadi tidak. Ikhtiar mereka tetap perlu dihargai kendatipun kehadirannya harus segera diimbangi oleh peningkatan daya kritis masyarakat.
M ALFAN ALFIAN, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Mengapa Parpol Baru?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar