Siklus keuangan adalah naik turunnya indikator utama keuangan, yaitu pertumbuhan kredit dan harga properti dalam periode waktu tertentu. Krisis keuangan biasanya terjadi pada saat siklus keuangan mencapai puncaknya, diikuti krisis perbankan dan resesi ekonomi (pertumbuhan negatif) yang pemulihannya berjalan dalam periode cukup panjang. Perekonomian yang tak dapat mengelola siklus keuangan dengan baik umumnya terjerembab dalam siklus pertumbuhan tinggi dan kejatuhan/krisis.
Siklus keuangan berbeda dengan siklus bisnis yang dicirikan naik dan turunnya pertumbuhan ekonomi. Dalam siklus bisnis, krisis ekonomi terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi negatif atau resesi, dan tidak selalu disertai krisis keuangan.Siklus keuangan memberikan dampak yang lebih besar daripada siklus bisnis karena memukul neraca keuangan di tingkat mikro, yaitu perusahaan dan rumah tangga.
Puncak siklus keuangan
Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, dapat dikatakan mengalami puncak siklus keuangan pada 2011-2013 ketika pertumbuhan kredit tinggi, di atas 20 persen, dan harga properti juga tinggi. Pada 2014 dan 2015 pertumbuhan kredit menurun dan juga harga properti, terutama di RRT. Dengan kata lain siklus keuangan mengalami transisi dari puncak menuju penurunan.
Kelihatannya puncak dari siklus keuangan ini kemungkinan masih rendah untuk diikuti krisis keuangan seperti pada 1998 di Asia dan 2008 di AS dan Eropa. Namun, kewaspadaan tetap dijaga mengingat penurunan siklus keuangan punya pengaruh serius pada perekonomian. Apalagi, krisis keuangan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan pasar yang terbuka.
Transisi dari puncak siklus keuangan membawa konsekuensi cukup besar bagi perekonomian. Pada saat pertumbuhan ekonomi turun, kelemahan dalam sektor keuangan mulai terlihat. Kredit macet (NPL) meningkat, terutama di sektor-sektor yang paling menurun pertumbuhannya, seperti pertambangan, seiring menurunnya harga komoditas.
Permasalahan kemampuan membayar debitor juga tak mudah untuk dicermati. Laporan keuangan dari banyak debitor bank sering kali tidak menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan membayar cicilan. Permasalahan muncul seakan-akan terjadi dengan tiba-tiba.
Penentu kebijakan umumnya menghadapi siklus keuangan ini dengan melonggarkan peraturan perkreditan dan kewajiban giro minimum. Misalnya yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan melonggarkan loan to value (LTV) dan membolehkan obligasi pemerintah dikategorikan sama dengan deposito. Belakangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan yang memudahkan restrukturisasi dan penyesuaian bobot risiko terhadap kredit.
Di RRT, bank sentralnya menurunkan suku bunga dan intervensi di pasar modal untuk menahan kejatuhan harga saham. Namun, kebijakan tersebut masih belum cukup efektif menahan tekanan di pasar modal. Pengaruh dari permasalahan di pasar modal dirasakan juga oleh pasar keuangan di Indonesia.
Kemungkinan krisis keuangan dapat dikatakan relatif rendah. NPL brutobank sekalipun naik,masih rata-rata sekitar 2,6 persen (neto 1,4 persen) dan kecukupan modal (CAR) masih tinggi: 20,3 persen. Namun, implikasi dari penurunan siklus keuangan membawa pengaruh serius terhadap perekonomian.
Perbankan Indonesia saat ini dapat dikatakan kelebihan likuiditas sebagai konsekuensi dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), 12,5 persen, yang lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit sekitar 10,4persen. Bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan permintaan kredit cenderung menurun.
Terjadi juga pergeseran penempatan dana dari tabungan ke deposito berjangka. Hal ini menunjukkan masyarakat yang berpendapatan tinggi cenderung tidak membelanjakan dana karena menghadapi ketidakpastian perkembangan ekonomi.
Harga properti sekalipun pada umumnya tidak menurun karena sifat kekakuan harga: stagnasi. Pasokan lebih besar daripada permintaan, baik perkantoran, pusat perbelanjaan, maupun rumah tinggal. Pembeli, baik investor maupun pemilik, menunda keputusan karena ketidakpastian ekonomi dan peraturan perpajakan.
Besarnya kepemilikan asing dalam Surat Utang Negara (SUN) sekitar 38 persen membuat sistem keuangan rentan terhadap kejutan dari luar yang menyebabkan aliran modal keluar. Utang luar negeri swasta juga lebih besar daripada pemerintah, dengan jatuh tempo yang lebih pendek, menambah kerentanan tersebut.
Pentingnya stabilitas
Menghadapi siklus keuangan, terutama saat mencapai puncaknya dan diikuti dengan penurunan, haruslah dilakukan denganserius supaya tidak terjatuh dalam krisis keuangan. Dengan keterbatasan cadangan devisa, BI tak dapat banyak melakukan intervensi mempertahankan nilai rupiah yang sudah terdepresiasi 8,7 persen sejak awal tahun. Begitu pula BI tidak dapat menurunkan suku bunga untuk stimulasi ekonomi karena akan kian menekan nilai rupiah.
Apa yang BI dan OJK harus lakukan adalah fokus pada menjaga stabilitas keuangan (makro dan mikro-prudensial). Jangan sampai NPL terus memburuk. Jika terdapat gejala fraud, segera fasilitas kredit dihentikan dan diproses secara hukum. Bagi debitor yang mengalami permasalahan karena alasan penurunan bisnis, kredit dapat direstrukturisasi secara memadai untuk memungkinkan melalui masa sulit ini, sebagaimana peraturan OJK yang baru dikeluarkan.
Perhatian BI dan OJK semestinyafokus pada stabilisasi sistem keuangan daripada stimulasi. Hal ini mengingat bahwa bank masih mengalami kelebihan likuiditas. Permasalahannya adalah lebih pada menurunnya permintaan kredit (berkualitas) saat ekonomi melemah.
Kerangka hukum yang jelas dan kuat untuk menangani bank bermasalah, apalagi yang berpotensi sistemik, sangat dibutuhkan. UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan harus segera disahkan. Kejelasan dalam menyatakan keadaan krisis sangat penting. Jangan sampai kekisruhan aturan terulang seperti pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998 dan Bank Century tahun 2008.
Sebenarnya kebijakan fiskal diharapkan dapat berbuat lebih banyak dengan menstimulasi ekonomi. Jangan sampai penurunan penjualan terus terjadi, dan perusahaan terlalu terfokus pada restrukturisasi menurunkan biaya, apalagi dengan melakukan PHK.Sementara pembangunan infrastruktur sangat membantu mendorong kegiatan ekonomi, tapi butuh waktu untuk pelaksanaannya dan begitu pula pengaruhnya pada perekonomian tidak dapat seketika.
Langkah-langkah jelas dan tegas dari kebijakan stabilitas sistem keuangan dan stimulasi fiskal akan dapat menjembatani kesenjangan ekspektasi terhadap perkembangan ekonomi. Kesenjangan itu antara lain pemerintah masih mengharapkanpertumbuhan 5,2 persen, sedangkan BI 5-5,2 persen, ADB 5 persen, dan Bank Dunia 4,7 persen. Pemerintah masih mengharapkan nilai rupiah sekitar Rp 13.200 per dollar AS, sedangkan banyak analis dan pelaku pasar keuangan memperkirakan lebih lemah lagi, berkisar Rp 13.800-Rp 14.000 per dollar AS pada akhir tahun.
UMAR JUORO, SENIOR FELLOW PADA CIDES DAN THE HABIBIE CENTER
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Kesiapan Hadapi Siklus Keuangan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar