Penembakan itu dilakukan oleh Korsel sebagai balasan atas tembakan peluru meriam yang dilepaskan Korut ke pengeras suara milik Korsel di wilayah zona bebas militer (DMZ) di perbatasan kedua negara. Korut menembakkan peluru meriam itu karena pengeras suara milik Korsel menyuarakan dengan lantang propaganda anti Korut.
Korut memang tidak membalas tembakan Korsel itu, tetapi melalui surat, Korut mengultimatum Korsel untuk mematikan ke-11 pengeras suaranya yang ditempatkan di DMZ paling lambat Sabtu pukul 17.00.
Pemimpin Korut Kim Jong Un memerintahkan pasukan militernya untuk siap berperang jika Korsel tidak mematikan ke-11 pengeras suaranya. Hubungan kedua negara semakin tegang karena Wakil Menteri Pertahanan Korsel Baek Seung-joo mengatakan kepada parlemen tidak akan menghentikan propaganda sampai Pyongyang menyatakan bertanggung jawab dan meminta maaf atas cederanya dua tentara Korsel yang terkena ranjau di DMZ.
Di masa lalu, kedua negara saling melancarkan propaganda melalui pengeras suara di DMZ. Praktik itu dihentikan kedua negara pada 2004. Namun, 10 hari lalu, Korsel menghidupkan kembali propaganda anti Korut menyusul cederanya dua tentara Korsel akibat terkena ledakan ranjau di DMZ. Pyongyang membantah pihaknya bertanggung jawab.
Kita berharap kedua negara menahan diri dan menjaga agar hubungan menegang itu tidak berkembang menjadi bentrokan bersenjata. Perang Dingin yang mendasari pecahnya Korea menjadi dua negara sudah 24 tahun berakhir. Karena itu, tidak ada gunanya lagi permusuhan di antara kedua negara itu diterus-teruskan.
Besar harapan kita Korsel mau lebih menahan diri dalam menghadapi Korut. Menantang Korut dengan menyatakan bahwa Korsel akan terus melanjutkan propaganda anti Korut hingga Pyongyang menyatakan bertanggung jawab dan meminta maaf atas cederanya dua tentara Korsel berpotensi membuat hubungan kedua negara menjadi runyam.
Mengapa kita berharap Korsel mau lebih menahan diri? Pertimbangannya antara lain karena di Korsel, sistem politik sudah berjalan lebih baik. Keputusan penting, termasuk keputusan untuk berperang, diambil melalui proses yang berjenjang dan bukan keputusan satu orang saja. Di Korut berlaku sebaliknya. Keputusan yang sama hanya ditentukan oleh satu orang, yakni Kim Jong Un. Dan, jika Jong Un memutuskan untuk berperang, pasti perang itu akan terjadi karena tidak ada yang berani membantahnya. Jika Korsel tidak ingin perang terjadi, menahan diri jadi kata kunci.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Korsel Mau Menahan Diri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar