Harian ini, kemarin, melaporkan, pasar properti di sejumlah kota tertekan. Penjualan rumah, terutama untuk segmen menengah ke atas, turun 30-40 persen.
Penurunan penjualan properti terjadi seiring pelemahan pertumbuhan ekonomi. Di berbagai belahan dunia, sektor properti biasanya akan tertekan begitu ekonomi melemah, tetapi juga tumbuh cepat saat ekonomi membaik.
Sudah menjadi rahasia umum, properti telah menjadi alat investasi, terutama rumah tinggal dan apartemen. Tanah juga telah kehilangan fungsi sosialnya, meninggalkan amanat Undang-Undang Pokok Agraria, dan menjadi alat spekulasi.
Tidak mengherankan jika pelambatan ekonomi menyebabkan calon investor menahan pembelian. Hal ini tidak terjadi pada rumah-rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang penjualannya masih terjaga.
Hal lain yang ikut menyebabkan penurunan penjualan rumah mewah adalah aturan baru perpajakan yang mengaitkan pembelian rumah mewah dengan Pajak Penghasilan. Pembeli rumah dengan harga di atas Rp 5 miliar wajib membayar pajak 5 persen di muka yang akan diperhitungkan ke dalam Pajak Penghasilan tahunan. Hal yang ditengarai lebih membuat calon pembeli menahan diri adalah kekhawatiran akan diburu petugas pajak saat membeli rumah mewah tersebut.
Meski demikian, situasi ini memberi kesempatan menormalkan kembali industri properti. Ini menjadi kesempatan pemerintah mewujudkan janji akan menyediakan 1 juta rumah hingga akhir 2015.
Pemerintah seharusnya dapat menegakkan aturan agar tanah dan bangunan di atasnya tetap memiliki fungsi sosial, bukan menjadi alat investasi, apalagi spekulasi, yang mengakibatkan harga properti semakin jauh dari jangkauan sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan, antara lain, memberlakukan tata ruang secara ketat dan transparan.
Pada 2015, diperkirakan defisit rumah mencapai 13,5 juta unit sampai 15 juta unit. Pemerintah telah menyediakan uang muka dan kredit lunak untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Industri properti sudah menikmati pertumbuhan dan keuntungan, bahkan harga cenderung menjadi tak terkendali saat ekonomi melaju kencang.
Kini saatnya bagi pemerintah menata sektor properti agar kembali normal dan hak dasar atas papan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah juga terpenuhi. Mereka memiliki daya beli, tetapi tidak mampu mendapatkan rumah layak huni karena tanah dan bangunan di atasnya telah menjadi alat investasi dan cenderung menjadi alat spekulasi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Menata Sektor Properti".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar