Pilkada serentak 9 Desember 2015 adalah agenda nasional. Agenda itu telah disepakati pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan terbitnya UU No 8/2015. Dalam sebuah pasal UU itu disebutkan, bagi kepala daerah yang habis masa jabatannya pada Juni 2015 sampai Juni 2016, pilkada serentak akan dilangsungkan pada Desember 2015.
Dari 269 daerah yang menggelar pilkada, ada tiga daerah yang tidak bisa melangsungkan pilkada pada 9 Desember, yakni Blitar (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Timor Tengah Utara (NTT). Kota Mataram yang awalnya hanya memiliki satu calon kemudian bertambah menjadi dua calon. Dari hasil penetapan KPU yang diumumkan hari Senin (24/8), tiga daerah mempunyai calon tunggal, yakni Kutai Kartanegara, Denpasar, dan Minahasa Selatan. Di ketiga daerah itu, KPU membuka pendaftaran lagi pada 28-30 Agustus 2015. Sebanyak 59 pasangan calon gugur, yakni 22 dari parpol dan 37 dari jalur perseorangan.
Penundaan pilkada di tiga kabupaten itu sebenarnya absurd! Pemerintah dan DPR gagal mengantisipasi munculnya calon tunggal saat menyusun UU Pilkada. Membiarkan calon tunggal agar pilkada tak bisa dilangsungkan adalah siasat anti demokrasi dan melecehkan hak politik rakyat.
Telah menjadi sebuah fakta, di tiga wilayah, parpol tidak bisa mencari calon kepala daerah yang bisa ikut dalam pilkada, apa pun alasannya. Ketika parpol kesulitan mencari calon, anehnya parpol di DPR justru mempersulit kemunculan calon perseorangan. Persyaratan untuk mengikuti pilkada dari jalur perseorangan justru diperberat menjadi 6,5 persen sampai 10 persen. Padahal, untuk UU Pemerintahan Aceh, calon perseorangan diatur hanya 3 persen!
Kita berharap sejumlah pasangan calon yang gagal dalam verifikasi dan ditetapkan bisa menghormati keputusan KPUD. Jika calon itu berkeberatan, masih ada mekanisme untuk mempersoalkan penetapan ke Badan Pengawas Pemilu. Itulah mekanisme konstitusional yang disediakan undang-undang.
Bagi parpol atau gabungan parpol yang calonnya dinyatakan tidak lolos verifikasi, masih terbuka ruang untuk mengganti pasangan calon tersebut dalam kurun waktu 28-30 Agustus. UU Pilkada mengandung kelemahan karena tidak mengantisipasi kehadiran calon tunggal—yang bisa dipakai menghambat pilkada—sehingga revisi UU Pilkada menjadi sebuah keniscayaan.
Perubahan UU Pilkada harus memberikan ruang yang lebih luas bagi calon perseorangan. Melonggarkan persentase persyaratan dukungan calon perseorangan, minimal disamakan dengan UU Pemerintahan Aceh, lebih masuk akal.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Tahapan Menuju Pilkada".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar