Lontaran pemikiran politis Megawati Soekarnoputri menghidupkan kembali perumusan GBHN ditangkap Saldi Isra dengan menguraikan berbagai dilema yuridis jika GBHN dihidupkan kembali melalui amandemen UUD 1945 (Kompas, 12/1).
Karena itu, Kompas melalui tajuk rencana "Perlunya Haluan Negara" pada tanggal sama mengingatkan "mengubah kembali UUD 1945 seperti membuka kotak pandora yang akan menguras energi bangsa di tengah kondisi pemerintahan seperti sekarang ini". Bambang Kesowo dalam artikelnya "GBHN dan Amandemen UUD" (Kompas, 19/1) juga mewanti-wanti "tanpa kewaspadaan mengenai itu semua, apa yang semula diharap dapat selesai dengan langkah terbatas, mungkin saja berkembang lebih luas baik dalam spektrum maupun jangkauannya".
Yang menggelikan ialah adanya konstatasi bahwa tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 belum mendapat pemahaman dan penafsiran yang sama di antara anak bangsa dari negara yang sudah berusia 70 tahun ini. Padahal, Pembukaan UUD 1945 senantiasa dibacakan setiap kali diadakan upacara bendera. Apakah bangsa ini bertelinga, tetapi tak mendengar?
Jika bangsa telah kehilangan daya mendengar, bagaimana mungkin mampu menjabarkan visi negara ke dalam GBHN? Pembangunan budaya bangsa jauh lebih penting dibandingkan dengan mengamandemen UUD 1945. Nyatanya UUD 1945 sudah diamandemen empat kali, kondisi bangsa kita masih karut-marut. Bukankah Soekarno selalu mengumandangkan perlunya pembangunan karakter? Sebagus apa pun rumusan GBHN, ia tak dapat diterapkan jika tak diimbangi dengan karakter nasional yang luhur.
WIM K LIYONO, JALAN SURYA BARAT, KEDOYA UTARA, KEBUN JERUK, JAKARTA BARAT
Modus Baru Kejahatan
Jumat (15/1), saya naik bus transjakarta dari Terminal Pinangranti. Bus banyak penumpang. Saya duduk di bangku belakang bagian kiri, menghadap depan.
Karena lelah saya tertidur. Namun, sekitar pukul 21.00, di Jalan Tol Jagorawi ke arah Pintu Tol Taman Mini, saya tersentak kaget mendengar teriakan, "Asap, asap, ada api..."
Semua penumpang sontak berhamburan, berdesak-desakan, dan berteriak panik, "Buka pintu sopir, buka pintu."
Sopir menepi dan mematikan mesin. Penumpang lain ada yang mencoba paksa membuka pintu, namun tetap tidak terbuka sampai sopir membukakan pintu. Semua penumpang meloncat turun di jalan tol, termasuk ibu hamil.
Saya bertanya ke petugas bus, "Pak, benar ada api atau asap?"
"Tahu tuh penumpang asal teriak aja, kalau ada asap atau api lampu indikator di panel depan sopir pasti nyala," jawabnya.
Karena saya pernah menyaksikan bus transjakarta berasap di daerah Matraman, saya dan dua penumpang lain memutuskan jalan kaki karena sudah tampak Pintu Tol Taman Mini. Penumpang lain ada yang naik bus transjakarta berikutnya, ada juga yang naik lagi ke bus semula, termasuk saudara saya.
Ketika kemudian bertemu, saudara saya bercerita tidak ada asap, tetapi dengar-dengar ada dompet hilang. Jika benar terjadi berarti ini modus baru kejahatan dalam angkutan umum. Seingat saya—meskipun dalam keadaan setengah sadar dan mengantuk berat—saya tidak mencium bau asap dan melihat asap.
Mohon perhatian pihak berwenang agar keamanan dan kenyamanan penumpang terjaga. Awasi jika ada penumpang berkelompok yang mencurigakan.
ABDUL KADIR SOLEMAN, JALAN GORDA, RT 008 RW 006, LUBANG BUAYA, JAKARTA TIMUR
Telepon Mati
Di Jatibening Baru, Bekasi, telepon rumah selalu mati menjelang Natal dan Lebaran. Tujuannya, supaya pemilik telepon menghubungi petugas Telkom. Lalu petugas datang, pura-pura memperbaiki, ujung-ujungnya minta tambahan tip. Katanya untuk biaya kabel telepon dan lain- lain. Karena telah beberapa kali terjadi, akhirnya setiap Natal atau Lebaran, kami biarkan saja telepon rumah tak berbunyi.
Telepon mati bisa berlangsung sebulan penuh. Tak ada nada sambung. Kami curiga, ini pekerjaan oknum Telkom yang ingin mencari uang sampingan dengan cara tidak halal.
Masalahnya, kami membayar iuran langganan maupun biaya penggunaan yang tidak sedikit sehingga sebagai konsumen kami berhak atas layanan yang baik.
CINDY S, JATIBENING BARU, PONDOK GEDE, BEKASI 17412
Tidak ada komentar:
Posting Komentar