Sejak pertengahan 2014, Forum Rektor Indonesia (FRI) telah mengusulkan dan menyosialisasikan perlunya sistem perencanaan yang bersifat holistik dan jangka panjang. Ketika itu, kami menegaskan bahwa demokrasi yang tumbuh subur di seantero daerah, yang diawali dengan pemilihan presiden secara langsung, hanya melahirkan pentas politik berbiaya tinggi, tetapi tidak semuanya memiliki dampak dalam upaya mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat.
Evaluasi keadaan demikian perlu disikapi dengan mengembalikan arah dan haluan pembangunan nasional secara pasti berupa GBHN. Dalam perkembangan itu, FRI juga telah menyusun dan memublikasikan naskah akademik: "Mengembalikan Kedaulatan Rakyat melalui Penetapan MPR untuk membentuk GBHN".
Gagasan kebutuhan haluan negara tersebut tentu tak serta-merta harus dimaknai menghidupkan kembali sentralisasi kekuasaan Presiden sepanjang Orde Baru, lantas menempatkan lagi MPR sebagai lembaga tertinggi, dan dorongan melahirkan neo-otoritarianisme baru. Gaung yang digelorakan oleh PDI-P sebenarnya endapan dari banyak keluhan, kritik, dan ujaran yang sudah sering disampaikan oleh banyak pihak, minimal dalam perjalanan 13 tahun reformasi di negeri ini.
Arah pembangunan nasional selama ini mengacu pada visi dan misi Presiden yang kemudian disusun secara detail sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Namun, perlu dipahami, visi dan misi Presiden tak bisa dijadikan pedoman pembangunan seluruh bangsa karena nakhoda tetap butuh kebersamaan penghuni bahtera yang sedang berlayar. Penyusunan RPJM dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kurang mewakili kepentingan seluruh bangsa karena tidak disusun secara transparan dan tidak melibatkan berbagai komponen bangsa.
Empat alasan
Kebutuhan haluan negara, baik GBHN, perencanaan pembangunan semesta, dan sebagainya menjadi penting karena alasan: (i) historis, (ii) hukum, (iii) politik, dan (iv) sosioekonomis.
Pertama, alasan historis. Upaya menyusun GBHN pada dasarnya telah dilakukan sejak awal kemerdekaan sebagai bagian dari model perencanaan ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Namun, itu sengaja dihilangkan dalam masa reformasi karena dianggap sebagai amanat pemilihan presiden secara langsung yang memiliki kewenangan membentuk arah pembangunan sesuai visi dan misi kepemimpinannya sendiri.
Pada masa awal pembentukan GBHN, Presiden Soekarno melahirkan adanya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berdasarkan Maklumat Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945 diberikan tugas untuk membantu Presiden menyusun GBHN. Di dalam keadaan tata negara darurat akibat revolusi, pelaksanaan GBHN tidak bisa berjalan dengan baik karena penyusunan sekaligus realisasi rencana ekonomi secara sistematik membutuhkan kerja sama semua elemen bangsa. Upaya penyusunan kemudian dilanjutkan oleh Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) dalam Rencana Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri 1951-1953 yang dirancang Soemitro Djojohadikusumo.
Seiring perjalanan kekuasaan, GBHN kemudian mengalami penyusunan secara detail di era Orde Baru. Selain melanjutkan era Orde Lama, GBHN merupakan perwujudan dari model perencanaan ekonomi kerakyatan Pancasila sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang tidak pernah berubah substansi pemaknaan. GBHN menjadi instrumen sentral dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945.
Kedua, alasan hukum. Sistem yang dibuat untuk menggantikan peran GBHN, yakni Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, seperti berjalan tidak efektif. Padahal, sistem yang lahir dari UU No 25/2004 itu diamanatkan untuk dapat menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Kehadiran UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang belum mampu mengakomodasi sebuah pedoman pembangunan dan menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan.
Arah pembangunan nasional selama ini, seperti telah disinggung di atas, mengacu pada visi dan misi Presiden yang kemudian disusun secara detail sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Namun, visi dan misi Presiden tersebut yang kemudian diterjemahkan dalam RPJM dan RPJP yang dibuat pemerintah melalui DPR hanya mewakili partai. Berlakunya UU No 6/2014 tentang Desa dan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menghendaki konsistensi perencanaan pembangunan jangka panjang dari tingkat pusat hingga daerah.
Ketiga, alasan politik. Solusi atas segala persoalan yang dialami Indonesia tidak bisa dicari dari luar. Bangsa ini hanya bisa bergerak maju setelah bangsa ini mampu mengenali dirinya sendiri. Dengan adanya GBHN, pengawasan jalannya pembangunan juga semestinya lebih kuat. Pasalnya, seluruh bangsa tahu ke mana seharusnya arah tujuan negara. Mungkin masih ada anggapan menghidupkan kembali GBHN ialah kemunduran dalam bernegara dan berdemokrasi. Namun, mengambil yang baik dari masa lalu, sejauh untuk kemajuan berbangsa, bernegara, dan berdemokrasi sesungguhnya merupakan langkah ke depan yang jauh lebih baik.
Keempat, alasan sosioekonomi. Setiap pembangunan harus berkelanjutan terutama menyangkut infrastruktur dalam skala nasional. Tidak gonta-ganti atau tidak searah seperti yang dilakukan pada era reformasi ini. Belum tercapainya maksud pembangunan ekonomi sebagaimana amanat konstitusi adalah terutama karena penyimpangan kiblat pembangunan dari roh dan jiwa konstitusi. Penyimpangan yang dilakukan berlangsung baik dalam bentuk liberalisasi undang-undang, kebijakan fiskal, dan fungsi moneter yang terlepas dari amanat konstitusi.
Sejak reformasi telah disahkan banyak undang-undang sektor perekonomian, yang setelah diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi, terbukti tidak konstitusional. Sebutlah seperti UU Minyak dan Gas (Migas), UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, dan UU Penanaman Modal. Kebijakan fiskal dalam bentuk APBN juga belum mencerminkan spirit memajukan kesejahteraan umum. Postur APBN terlalu bias kota, yang memelihara terjadi ketimpangan terus berlangsung antargenerasi. Untuk mencapai sasaran jangka panjang suatu negara, urutan kepentingan harus diprioritaskan. Sebuah haluan negara diharapkan menjadi kiblat pembangunan yang memanfaatkan modal sosial berdasarkan pengalaman Indonesia sebagai negara demokrasi dan menerapkan spirit Asia dalam pembangunan nasional.
Tiga skenario
Menurut penulis, ada tiga skenario untuk mewujudkan kembali GBHN. Skenario pertama adalah menginisiasi amandemen UUD 1945 secara terbatas. Tujuannya untuk meninjau ulang keberadaan MPR, sekaligus memberinya wewenang untuk menyusun dan menetapkan GBHN. Namun, jika agenda itu yang dipilih, diperlukan prasyarat politik berupa konsensus nasional melalui fraksi-fraksi dan perwakilan DPD di MPR. Dengan demikian, konsensus itu mencerminkan kesepakatan semua elemen bangsa.
Skenario kedua, merevisi UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU No 17/2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), serta UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan UU No 25/2004 dan UU No 17/2007 harus diubah agar penyusunan rencana pembangunan tidak terpusat di pemerintah. Tujuannya agar lembaga-lembaga negara lainnya bersama-sama untuk bersinergi dan berkesinambungan mencapai tujuan bernegara. Sementara UU MD3 diubah sehingga MPR, DPR, dan DPD masing-masing memiliki undang-undang sendiri.
Selanjutnya, dalam UU tentang MPR dimasukkan kewenangan untuk menyusun dan menetapkan GBHN. Sementara UU 12/2011 diubah dengan menetapkan kembali status hukum Ketetapan MPR sebagai hierarki norma hukum yang mengikat ke luar secara hukum.
Skenario ketiga adalah menciptakan konvensi ketatanegaraan. Lembaga-lembaga negara DPR, DPD, dan MPR mengadakan sidang bersama untuk menyusun haluan strategis pemerintah dalam jangka panjang dan memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan fokus dan skala prioritas kerja yang disesuaikan dengan visi dan misi saat kampanye. Fokus dan skala prioritas itu harus mengacu pada haluan yang ditetapkan hasil sidang bersama MPR, DPR, dan DPD. Menjelang enam bulan usai mandat kepresidenan, MPR, DPR, dan DPD harus melakukan evaluasi dan memberikan catatan-catatan kemajuan yang dicapai dari pelaksanaan haluan negara. Skenario ini membutuhkan perubahan UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib masing-masing negara.
Sebuah haluan negara, sebut saja bernama GBHN, yang berhasil diwujudkan, diharapkan menjadi instrumen untuk memimpin semua penyelenggara negara untuk patuh, loyal, dan setia terhadap jiwa dan ruh konstitusi dalam menyelenggarakan pembangunan bangsa.
Kesetiaan terhadap konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, harus tecermin dalam legislasi, politik, anggaran, dan kebijakan moneter. Dengan demikian, haluan negara itu akan menjadi kiblat baru kesejahteraan Indonesia untuk melunasi janji-janji proklamasi yang diucapkan lebih dari 70 tahun lampau.
RAVIK KARSIDI, GURU BESAR DAN REKTOR UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "GBHN untuk Kesejahteraan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar